21-06-2021
Sebelum facebook, twitter, dan media sosial merebak seperti sekarang ini, Manuel Castells menjelang berakhirnya abad-20 sudah memprediksi bahwa di era informasi ini politik skandal akan lebih mewarnai. Dan kita bisa melihat bagaimana soal skandal ini tidak hanya untuk melumpuhkan lawan, tetapi juga untuk ‘mendisiplinkan’ kawan. Pelajaran dari beberapa diktator yang hidup di abad-20, soal skandal ini bisa langsung pada yang bersangkutan, atau mlipir pada pasangannya, atau bahkan orang-orang sekitar lainnya. Hanya saja di abad-20, laras panjang yang maju dulu, bukan skandalnya. Kalau diotak-atik skandalnya masih ndableg atau terlalu tipis skandal untuk dimainken, ya kembali ke-laptop, kekuatan laras panjang, entah dalam bentuk ‘soft’: hukum, ‘ekonomi’, dimainken, atau dalam bentuk ori-nya, peluru tajam.
Maka tak mengherankan jika Joseph Nye Jr., tokoh terdepan soal gagasan soft power itu, berpendapat bahwa di era informasi ini kredibilitas bisa menjadi hal yang semakin langka. Di depan kekuatan kekerasan misalnya, orang masih bisa dengan gagah menghadapi gertakan laras panjang demi mempertahankan kredibilitasnya, tetapi bagaimana jika di-udal-udal skandalnya? Atau yang nyrempet-nyrempet skandal? Siapa yang tidak pernah sekalipun terpeleset pada tindakan yang tidak benar? Dan bagaimana jika itu dieksploitasi? Bahkan jika bahan mentahnya itu adalah sebuah ‘skandal’ yang diada-adakan? Sebagian besarnya bisa mati-alus cuk, bisa perlahan-lahan sekarat. Dan pastilah dalam ke-perlahanan-nya itu kemungkinan untuk mau kompromi akan membesar pula. Maka kredibilitas-pun akan ikut-ikutan dipertaruhkan.
Bukan berarti pula cover Tempo di atas itu bicara soal skandal yang bersangkutan, atau pasangannya, atau orang-orang sekitar, tetapi bisa juga soal ‘lapis kedua’-nya, kekuatan kekerasan, misalnya. Tetapi apapun itu, gambaran dalam cover itu bisa kita hayati sebagai puncak gunung es juga. Penampakan dari si-A, si-B, atau si-D,E dan seterusnya yang kadang ‘nganeh-anehi’ dan banyak kemiripan itu maka patut dicurigai ada soal ‘tali kekang’ skandal di sini. Orang hilang ‘sandera kasus’ yang intinya adalah soal ‘tata-kelola skandal’ itu. Apapun bentuknya skandal itu, dan biasanya tidak akan lepas dari hasrat perut ke-bawah jika memakai analogi jiwa yang dipakai Platon. Terutama skandal terkait dengan hasrat akan uang dalam bermacam bentuknya, dan seks.
Politik skandal ini nampaknya sulit untuk dihilangkan, yang lebih bisa dikendalikan adalah, sebaiknya itu ‘diselesaikan’ saja dari pada ‘dimainken’. Jika ‘diselesaikan’ maka yang bersangkutan otomatis akan surut sendiri karena menghadapi ‘sangsi sosial’ yang tidak kecil. Tetapi jika ‘dimainken’ maka seperti disinggung di atas, soal kredibilitas-pun mau-tidak-mau akan ikut dipertaruhkan. Tidak hanya soal kredibilitas, tetapi soal angan-imajinasi dari khalayak untuk dipimpin oleh yang terbaik-pun akan semakin mengkerut. Jika soal kredibilitas yang tipis-tipis saja itu terus menjadi ‘kebiasaan’ maka hidup bersama-pun perlahan juga akan ikut terseret ke bawah. Soal ‘rasa-merasa’-pun akan bisa berubah. Sangsi sosial akan semakin tidak berfungsi, dan sikap permisif terhadap bermacam laku medioker yang muncul dari para pejabat atau ‘tokoh’-pun akan semakin melebar. Modal sosial akan semakin tipis pula, dan jika bicara soal ‘penguasaan’, itu adalah kondisi idaman bagi yang sedang bermimpi menguasai republik. Maka kita patut berterimakasih pada Tempo dengan cover-nya kali ini. Kita semakin diyakinkan (lagi) bahwa republik tidak sedang baik-baik saja. *** (21-06-2021).