www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

24-06-2021

Di Queens New York pada tahun 1964, Kitty Genovese mengalami penyerangan yang berulang-ulang di apartemennya dan akhirnya pada satu saat berakibat fatal. Tangisan, rintihan Kitty sebenarnya didengar juga oleh tetangga-tetangganya, tetapi mereka memilih menghiraukan. Menurut Amartya Sen, ada tiga isu utama dalam peristiwa tersebut, (1) Sebagai isu utama adalah kebebasan Kitty yang sebenarnya tidak boleh dilanggar. Kitty sebenarnya tidak boleh diserang dan mengalami kekerasan, (2) Si-penyerang sebenarnya mempunyai kewajiban untuk tidak menyerang, untuk tidak melakukan kekerasan terhadap Kitty, atau orang lain. Ini merupakan ‘perfect obligation’, dan (3) para tetangga yang mendengar jeritan dan tahu ada kekerasan itu sebenarnya ia mempunyai juga kewajiban, yang disebut sebagai ‘imperfect obligation’.[1]

Coba kita berandai-andai ketika pandemi COVID-19 melanda dunia, -sudah lebih dari satu tahun lamanya, dan kita bicara soal problematik di atas. Dalam menghadapi pandemi yang bahkan sudah satu setengah tahun berjalan. Ketika muncul pilihan antara menyelamatkan manusia atau kehidupan ekonomi, perlahan nampaknya menyelamatkan manusia semakin diyakini sebagai yang utama dalam konteks penghayatan global. Sebagai isu utamanya. Dan itu tidak hanya merupakan hasil dari perdebatan di ruang-ruang diskusi, tetapi juga berdasarkan pengalaman di banyak komunitas selama satu setengah tahun ini. Jika memang itu yang terjadi maka dalam menghadapi wabah ini bisa dikatakan menyelamatkan nyawa manusia adalah ‘perfect obligation’. Bahkan di luar wabah-pun sebenarnya akan seperti itu. Sekedar menegaskan saja, karena ketika wabah menghantam, sering kemudian ada di ujung dilema, nyawa manusia atau masalah ekonomi? Dan seperti ditegaskan oleh Kant, jika itu adalah ‘perfect obligation’ maka ia akan menjadi prioritas. Siapa yang mempunyai kewajiban itu? Semuanya tentunya, tetapi pertama-tama adalah pemerintah, paling tidak jika tidak berdasarkan argumen konstitusi, ia adalah pemungut pajak. Dan juga karena ia mempunyai bermacam sumber daya untuk dikerahkan demi menyelamatkan nyawa warganya. Jika kemudian masalah ekonomi menjadi prioritas dengan merelatifkan soal menyelamatkan manusia, maka pada dasarnya keputusan itu merupakan pelanggaran atas ‘perfect obligation’ yang mestinya dipegang teguh oleh pemerintah: menghormati nyawa warganya.

Masalah ekonomi memang penting sebagai penyangga berlangsungnya kehidupan. Di tengah-tengah segala keterbatasan, maka jika ada pihak-pihak yang membuat ‘penyangga kehidupan’ ini terganggu, mengambil kesempatan dalam kesempitan, itu adalah sungguh kejahatan luar biasa. Tidak hanya soal uangnya, tetapi itu akan sungguh nyrimpeti, mengganggu usaha dalam menyelamatkan nyawa warga. Misal yang sudah ramai selama berbulan-bulan, soal korupsi bantuan sosial itu. Semua pihak yang terlibat jelas harus ditangkap, termasuk juga yang kecipratan pengadaan goodie bag-nya itu. Tangkap dan adili! Juga yang main-main proyek tak jelas juntrungannya itu. Jelas telanjang menggerogoti kemampuan dalam perjuangan menyelamatkan nyawa warga.

Lalu bagaimana dengan masalah ketiga seperti dicontohkan oleh Amartya Sen dalam kasus Genovese seperti pada awal tulisan? Atau coba kita lihat, sudah tahu bahwa nyawa warganya begitu banyak yang terancam, mengapa masih saja bicara soal pindah ibukota baru? Tidak bolehkah bicara pindah ibukota baru di tengah-tengah mengamuknya wabah? Kalau pilihannya hanya boleh dan tidak, tentu bolehlah. Atau meng-golkan undang-undang omnibus law itu di tengah-tengah mengamuknya wabah, di tengah-tengah terancamnya nyawa warga? Atau yang akhir-akhir ini mencuat, soal penambahan masa jabatan presiden itu. Tidak bolehkan sebagian warga berusaha menambah periode jabatan presiden? Tentu tidak dilarang, boleh-boleh saja, sama tidak bisa bisa dilarangnya jika ada yang mewacanakan soal presiden berhenti di tengah jalan, misalnya. Masalahnya bukan dilarang atau tidak, boleh atau tidak dalam konteks masalah di awal tulisan itu, tetapi bagaimana respon terhadap hal tersebut ketika ada di situasi wabah ini. Terutama pemerintah yang sedang ‘fokus-sibuk’ menyelamatkan nyawa warganya itu. Dari imperfect obligation, kita sebenarya lebih melihat soal komitmen. Lebih bisa melihat kualitas diri. Maka jika respon terhadap hal tersebut bahkan menyiratkan bahwa dirinya adalah ‘korban’, yang merasa dijerumuskan-lah, atau merasa ditampar-lah, komitmen dan kualitas diri seperti apakah sebenarnya yang ada pada dirinya? Mungkin benarlah cuitan Sudjiwo Tedjo lebih dari setahun lalu itu: “Jika aku mati2an mendukung seseorang jadi pemimpin padahal aku tahu bahwa dia gak mampu jadi pemimpin, maka patut kau duga bahwa aku akan mengeruk keuntungan besar2an dari kepemimpinan dia.[2] *** (24-06-2021)

 

[1] Amartya Sen, The Idea of Justice, hlm. 374-375

[2] https://twitter.com/sudjiwotedjo

/status/1094888794224877569

Imperfect Obligation