www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-06-2021

Leviathan ditulis Thomas Hobbes hampir 400 tahun lalu. Buku tersebut bagian pertamanya membedah habis-habisan tentang manusia biasa, manusia apa adanya, yang salah satunya terkait dengan kuasa. Bagi Thomas Hobbes, manusia selalu akan ‘tersihir’ oleh kuasa (power), bahkan ketertarikan manusia akan kuasa itu baru berakhir di liang kubur. Hal utama manusia selalu tertarik akan kuasa menurut Hobbes bukan hanya soal ‘menumpuk harta’, tetapi juga ‘mengamankan’ harta yang sudah ditumpuk itu.

Dari hal di atas kita kemudian bisa membayangkan pentingnya hukum diadakan. Dalam konteks di atas, hukum sebenarnya bisa menggantikan atau paling tidak memberikan rasa aman terhadap apa-apa yang sudah diperolehnya. Apa-apa yang sudah ‘ditumpuk’ itu. Sehingga ‘obsesi’ akan kuasa bisa diturunkan ‘tensi’-nya. Tetapi masalahnya, katakanlah hukum itu erat akan satu bentuk keadilan, apa itu adil? Bagaimana jika ada yang menghayati bahwa soal adil itu adalah soal siapa yang berkuasa? Seperti pendapat Thrasymachus lebih dari 2000 tahun lalu itu? Salah satu pendapat yang sering dikutip dari Thrasymachus adalah, ‘justice is nothing but the advantage of the stronger’. Atau lain hal, bagaimana jika bertumpuknya harta itu adalah hasil dari pelanggaran-pelipatan hukum dalam bermacam bentuknya? Jika dua hal ini menjadi dominan bagi sementara pihak maka bisa dipastikan soal ‘tata kelola kuasa’ dalam komunitas tersebut bisa menjadi ‘rumit’. Atau bahkan bagi pihak-pihak tertentu, semua bisa dipertaruhkan –at all cost, demi mempertahankan kuasa. Yang pada dasarnya adalah, demi ‘amannya’ bertumpuknya harta mereka. Bukan soal radikal-radikul atau soal serba-serbi ideologi itu.

Ketika hukum menjadi begitu carut-marutnya, salah satunya karena mengambil pendapat Thrasymachus di atas, maka rasa ketidak-adilan-pun perlahan akan mengisi suasana kebatinan khalayak. Bagaimana jika penghayatan akan ketidak-adilan itu kemudian masuk dalam spiral kekerasannya Dom Helder Camara itu? Menurut Camara, ketidak-adilan akan memicu reaksi tertentu dari khalayak, dan bisa-bisa itu akan direspon oleh penguasa dengan kekerasan. Penggunaan kekerasan itu justru akan memperbesar ketidak-adilan, dan itu semakin mengundang perlawanan lebih besar. Semakin besar pula kemudian represi dari penguasa, dan seterusnya. Maka cerita selanjutnya sebenarnya mudah ditebak: penggunaan kekerasan pada akhirnya akan menjadi andalan utama bagi ‘stabil’-nya rejim seperti itu. Rejim yang menumpuk harta dengan banyak melanggar hukum dalam bermacam bentuknya. *** (25-06-2021)

Manusia Apa Adanya