www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

29-06-2021

Program-program rancangan Reagan sangat tidak populer. Pada pemilihan tahun 1984, di mana Ronald Reagan meraih suara mayoritas, sekitar tiga dari lima berharap kebijakan Reagan tidak diberlakukan. Jika anda melihat program tertentu, misalnya pengadaan senjata, pemotongan terhadap dana-dana sosial, dan sebagainya, hampir semuanya tidak didukung oleh publik. Namun, selama publik terus dibatasi, dialihkan perhatiannya, dan tidak punya akses untuk berorganisasi atau menyatakan sentimennya, atau bahkan untuk mengetahui kalau orang lain juga menyimpan sentimen yang sama, keadaan tidak akan berubah”.[1]

‘Keadaan tidak berubah’ di suatu tempat bisa berarti koq mau-maunya dibohongi terus-terusan. Bahkan ada yang memberikan tepuk tangan tiada henti. Atau laku-‘program’ korupsi, pat-gu-li-pat, kong-ka-li-kong, ngunthet, terus saja berjalan, bahkan dengan skala makin menggila. Apakah itu semua hanya karena seperti dikatakan Chomsky, publik yang terus dibatasi, dialihkan perhatiannya, dan tidak punya akses untuk berorganisasi atau menyatakan sentimennya, atau bahkan untuk mengetahui kalau orang lain juga menyimpan sentimen yang sama?

Kutipan pendapat Chomsky di awal tulisan bagaimanapun pertama-tama bukan soal bohong-nya Reagen. Apa yang dimaksud, misalnya program-program pengadaan senjata, pemotongan terhadap dana-dana sosial, bagi Republik memang seiring dengan sudut pandang mereka sebagai kaum konservatif. Tidak mungkinlah dalam kampanye Partai Republik akan mengkampanyekan sebaliknya dari hal-hal tersebut. Sampai sekarang-pun isu soal senjata ini masih terus saja bergulir, Republik akan bilang dalam dunia yang penuh bahaya karena manusia pada dasarnya jahat, setiap individu mempunyai hak untuk mempertahankan diri dan keluarganya, makanya kepemilikan senjata adalah hak mendasar. Demokrat jelas akan berbeda argumentasinya dan ujungnya adalah proposal pengendalian kepemilikan senjata, misalnya. Demikian juga soal bantuan sosial, atau juga soal pajak. Dan banyak hal lainnya, bahkan juga sampai soal isu aborsi. Maka yang berkembang pertama-tama adalah ‘tehnik merayu’, bukan ‘tehnik berbohong’. Tentu politik tidak akan lepas dari bohong-membohong, tipu-menipu, tetapi selain masalah batas, jelas juga ini adalah soal dari mana itu dimulai maka akan menjadi berbeda dalam perjalanan nantinya. Jika masuknya itu dimulai dengan garbage –bohong misalnya, maka yang keluar-pun akan garbage pula.

Jika memakai pemikiran Marx, politik akan banyak ditentukan oleh relas-relasi produksi di ‘basis’. Dalam kapitalisme, maka bayangkan jika ‘konsumen’ itu akan ‘membeli produk’ saat pemilihan? Katakanlah ada dua-tiga ‘produk’ yang ikut kontestasi, maka akan terjadi persaingan tidak hanya pada ‘produk’ yang ditawarkan, tetapi juga ‘tehnik merayu’ pembeli juga. Atau bahkan jika itu ‘partai tunggal’ di ranah 'sosialisme' misalnya, bukankah ‘produk’-nya itu juga sangat jelas? Bahkan ada buku berjilid-jilid yang mendukung soal narasi ‘produk’-nya itu. Dalam hal ini-pun partai-pelopornya itu akan mengembangkan juga tehnik-tehnik merayunya. Entah dengan injak kaki ataupun tidak.

Dalam merayu pembeli, katakanlah ada produk A, bisa saja akan dikatakan skala kualitasnya itu adalah 10. Bahwa ternyata itu dibeli dan dicoba dirasa-rasa ternyata mengecewakan, karena skala kualitasnya hanyalah 4 misalnya, tetapi tetap saja A-lah yang ditawarkan dan kemudian dikonsumsi. Mungkin kesempatan depan ia tidak akan beli A lagi. Tetapi bagaimana jika produk A memang yang ditawarkan dengan berbusa-busa, dan ketika dibeli secara on-line misalnya, yang dikirim adalah B, atau bahkan ‘kontra-A’? Atau misalnya berbusa-busa kepada rakyat soal ini dan itu, rakyat bahkan ketika lewat foto besarnya pemimpin harus berhenti sejenak dan kemudian membungkuk untuk memberikan hormat, seperti di Korea Utara itu, tetapi ternyata banyak elit dan kroninya justru main-main menumpuk harta di shadow economy yang berkembang seperti dilaporkan oleh TV DW beberapa waktu lalu itu? *** (29-06-2021)

 

[1] Noam Chomsky, Politik Kuasa Media, PINUS Book Publisher, 2006, cet.2, hlm. 34                 

Pengalihan Isu dan Batas-batasnya