www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

09-07-2021

Menjelang 100 tahun ‘peringatan’ buku Julian Benda, Pengkhianatan Kaum Intelektual, sayangnya kita merasakan bahwa soal khianat ini seakan sudah merebak bagai epidemi. Janji-janji begitu mudah dikhianati. Genderang ‘ideologi’ pro-wong-cilik misalnya, juga begitu mudah dikhianati. Dicampakkan. Juga seperti disinyalir Benda hampir 100 tahun lalu itu, banyak kaum intelektual juga berkhianat dengan terang-benderangnya. Kaidah-kaidah ilmiah dalam pelaksanaan survei-survei juga begitu mudah dikhianati. Juga anggaran negara sudah berkali-kali dikhianati juga. Bahkan pengkhianatannya semakin sadis saja. Bahkan juga data-datapun dikhianati. Kepentingan nasional-pun di sana-sini terkhianati dengan telanjangnya. Pengkhianatnya dengan tanpa sungkan lagi lebih memihak pada kepentingan asing dari pada kepentingan nasional. Dan kedaulatan-pun perlahan tapi terus-menerus dikhianati. Pengkhianatan seakan sudah menjadi banal.

Tidak mudah memang bicara soal ‘pengkhianatan kaum intelektual’ dan ‘pengkhianatan kaum politisi’ dalam satu pembicaraan. Masing-masing bisa mengajukan ‘verifikasi-kebenaran’-nya sendiri-sendiri. Para politisi itu bisa membangun ‘fakta alternatif’-nya sendiri-sendiri, semau-maunya, tetapi tidak bagi kaum intelektual. Tetapi pandemi yang sedang menggila ini seakan menyadarkan kita bahwa soal ‘pengkhianatan kaum intelektual’ dan ‘pengkhianatan kaum politisi’ itu ternyata bisa dibicarakan bersama. Juga misalnya ketika dihadapkan ada kejamnya perang, holocaust, genosida, dan lain-lain. Nampaknya, kematian-lah yang mampu ‘memaksa’ ‘pengkhianatan kaum intelektual’ dan ‘pengkhianatan kaum politisi’ itu untuk bisa dibicarakan bersama. Kematian-kematian yang semestinya bisa dihindarkan, bisa dicegah. Dan sebenarnya bukan hanya soal inteletual dan politik, tetapi semua aspek kehidupan semestinya dapat dibicarakan bersama ‘di depan kematian’ ini.

Maka di depan kematian-kematian yang merebak, baik yang potensial atau faktual, bermacam hal khianat itu tetaplah sebuah khianat. Bahkan bermain-main dengan ‘fakta alternatif’-pun akan segera terhayati sebagai khianat. Lihat misalnya, main-main kata soal langkanya oksigen yang kemudian dipaksakan untuk memakai kata ‘keterbatasan’ oksigen itu, langsung saja khalayak bereaksi keras. Muak. Ketika kematian-kematian terus berdatangan, seperti orang sedang tenggelam apa-apa akan diraihnya. Maka akan sangat marah-lah, geram-lah, justru ketika semakin tenggelam dahan-dahan yang akan digapai itu malah untuk main-main saja. Ketika kematian semakin dekat, tiba-tiba saja bermacam khianat itu semakin nampak, bahkan bisa-bisa terhayati sebagai sebuah kejahatan.

Kemampuan berpikir semestinya akan lebih menenangkan ketika kematian merebak. Dan seperti sejarah menunjukkan, ketika kematian-kematian dalam bermacam sebabnya itu merebak, rasionalitas perlahan tidak hanya berupaya keras mencegah, tetapi juga bagaimana ‘mendampingi’ setelah peristiwa itu mereda. Tak mengherankan pula Julian Benda katakanlah, begitu ‘marahnya’ terhadap pengkhianatan kaum intelektual ini, terlebih di tengah-tengah gelapnya pasca Perang Dunia I itu. Atau kegusaran khalayak soal sontoloyo-nya Rektor UI itu, yang muncul terkuak di tengah-tengah wabah. Maka dalam menghadapi wabah ini, hanya pemimpin-pemimpin politik yang terdampingi dengan baik oleh para ahli di bidangnyalah yang kemudian mampu membawa yang dipimpinnya itu menghadapi wabah dengan sebagaimana mestinya. Tidak ada kesempatan atau kemauan untuk membangun ‘fakta alternatif’ lagi karena yang di sampingnya pastilah akan menolaknya. Kecuali memang jika yang disampingnya itu kualitasnya se-level dengan Rektor UI itu. *** (09-07-2021)

               

Khianat Dalam Segala Hal