www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

14-07-2021

Apakah hal ‘supremasi kulit putih’ yang berkembang di Eropa sana di abad 17-18 itu kemudian menyebabkan berkembangnya secara massif perbudakan, terutama kulit hitam dari Afrika, pada abad-abad itu? Ataukah ketika perbudakan dari orang-orang kulit berwarna itulah yang kemudian ‘memprovokasi’ berkembangnya hal ‘supremasi kulit putih’ itu? Itulah yang dimaksud ideologi kadang terperosok dalam ‘kotak camera obscura’. Dalam contoh di atas, ketika kemudian diyakini bahwa ideologi ‘supremasi kulit putih’ itulah yang menyebabkan merebaknya perbudakan. Bagi Marx, relasi-relasi kekuatan produksilah yang primer, ia akan sangat menentukan apa-apa yang berkembang di ‘bangunan atas’, termasuk hal ideologi. Dan di abad 17-18, perbudakan adalah pilar utama dari denyut relasi produksi pada masa itu. Bahwa itu kemudian dapat berfungsi juga sebagai legitimasi bermacam tindakan berikutnya, tetaplah tidak menghilangkan peran awal-sentral dinamika basis yang ‘melahirkan’ ideologi tersebut. Distorsi adalah ‘fungsi’ ideologi ketika terperangkap dalam ‘kotak camera obscura’-nya. Fungsi lain dari ideologi menurut Paul Ricoeur adalah legitimasi dan integrasi.

***

For Polybius, the Roman Empire represented the pinnacle of political development because it brought together the three “good” forms of power –monarchy, aristocracy, and democracy, embodied in the persons of the Emperor, the Senate, and the popular comitia,”[1] demikian ditulis Negri dan Hardt dalam Empire (2000). Negri dan Hardt memberikan gambaran di tingkat global, dalam bacaannya situasi sebelum tahun 2000 itu (saat buku terbit), dimana di puncak piramida mixed constitution itu: (monarki) pada level pertamanya adalah Amerika Serikat, level ke 2 beberapa negara, katakanlah yang masuk dalam G7, Paris dan London Club, dan sekitarnya, dan level 3-nya bermacam bentuk kerjasama militer atau moneter di tingkat global. Tingkat di bawah monarki, aristocracy didominasi oleh kekuatan jaringan transnational capitalist corporations. Dan tingkat terbawah, demokrasi.[2]

Peristiwa kalahnya Trump oleh Biden, dan apa-apa yang terjadi saat Trump dan Biden berkuasa menarik untuk dicermati. Jika kita boleh meliarkan imajinasi, mungkinkah apa-apa yang dilakukan oleh Biden, dan didukung oleh ‘kolega’-nya di G20 soal pajak bagi korporasi besar baru-baru ini misalnya, adalah upaya ‘mendisiplinkan’ (lagi) tingkah-kuasa korporasi-korporasi itu? Atau juga ‘menghilangnya’ Jack Ma setelah mengkritik pemerintahan China di bagian akhir 2020 lalu? Mungkin pengalaman ketika Dutch East India Company dan East India Company yang di abad-abad dulu itu begitu merajalela tidak mau diulang lagi oleh Biden dkk? Dan Trump kemudian bisa dibaca juga sebagai bagian dari para aristokrat, transnational capitalist corporations yang ingin naik ke-puncak piramida? Bahkan nuansa-kemasannyapun mirip-mirip ketika Dutch East India Company dan East India Company merajalela, nuansa gold, glory, dan God itu. Dan Biden-pun sangat sadar akan kekuatan transnational capitalist corporations, mungkinkah itu mengapa berulang-kali Biden bicara soal demokrasi? Ia ingin ‘berkoalisi’ dengan demokrasi untuk menghadapi ‘kuda-hitam’[3] binal yang penuh dengan gejolak energi-hasrat itu?

Tetapi baik itu Republik maupun Demokrat, atau misal dalam konteks ‘Empire’, baik yang di monarki maupun yang di aristokrasi, mereka sama-sama melihat si-demos dalam demokrasi sebagai bagian yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Meski dalam ketakutan akan ada harapan, demikian juga sebaliknya seperti dikatakan oleh Spinoza, yang mana kemudian diberi bobot lebih akan terbedakan oleh cara pandang ‘natur’-nya manusia. Bagi Republik yang berangkat dari ‘pada dasarnya manusia itu jahat’ akan memberikan bobot perhatian lebih pada hal ‘menakutkan’ dari si-demos, sebaliknya bagi Demokrat yang berangkat dari ‘manusia itu pada dasarnya baik’ lebih akan menekankan pada harapan. Maka pendekatan pada si-demos-pun akan menjadi berbeda pula. Lihat misalnya, bagaimana eksploitasi ‘ketakutan’ dalam bermacam bentuknya yang dilakukan Trump dan timnya itu. Atau bisa dilihat juga secara ‘terbalik’, bagaimana soal Proud Boys itu menjadi pendukung die-hard-nya Trump.

Di sebuah republik, dua hal di atas dimainken sekaligus dengan sangat baiknya, yaitu bagaimana ada yang ‘bertugas’ mengeksplotasi ‘harapan’ dan yang lain ‘bertugas’ mengeksploitasi ‘ketakutan’. Tetapi sayangnya, seiring dengan waktu berjalan, eksploitasi harapan itu semakin mendekat pada batasnya, ketika ternyata hampir semua adalah harapan kosong belaka. Hampir semua adalah ngibul belaka. Tetapi itu harus dilakukan sesuai dengan ‘pembagian tugas’ dari sang-sutradara, ia harus memberikan harapan pada ‘orang-orang yang pada dasarnya baik’ itu. Rumusnya, ‘orang yang pada dasarnya baik’ itu mestinya ya dihadapi oleh ‘orang baik’ pula. Sedangkan eksplotasi ‘ketakutan’-pun ada yang bertugas sendiri, salah satu kroco tentara bayaran ya buzzerRp itu.  Tetapi kedua ‘oplosan’ itu nampaknya semakin dekat dengan titik nadir-nya, karena akal-sehat dalam menghayati ‘ketakutan’ yang ditebar itupun semakin melihat bahwa itu terlalu mengada-ada saja. Diada-adakan sampai tingkat yang ‘nganeh-anehi’. Apa yang menyebabkan kedua hal eksploitasi itu seakan dipercepat habis masa kedaluarsanya?

***

Fakta alternatif bisa kita hayati sebagai ‘distorsi paket hemat’, distorsi tanpa sungkan-sungkan lagi, tanpa bungkus ‘mewah’ dengan bunga-bunga ideologi misalnya, nekad-nekad saja. Istilah ‘fakta alternatif’ mulai dikenal luas sejak awal tahun 2017, ketika Penasehat Presiden Donald Trump saat itu, Kellyanne Conway, membela Sean Spicer yang salah atau ugal-ugalan dalam klaimnya tentang jumlah penonton saat pelantikan Donald Trump. Conway mengatakan klaim Spicer yang jelas tidak sesuai dengan fakta yang ada itu sebagai: fakta alternatif. Dan segera saja banyak pihak membandingkan istilah “alternative facts’ itu dengan “newspeak”, istilah George Orwell dalam novel 1984. “Newspeak” sebagai  ‘the euphemistic language that often inverted meaning in “1984" that the tyrannical government used to deceive and control its residents.[4] Bandingkan bermacam celotehan dari pejabat republik yang ugal-ugalan ketidak-sesuaiannya dengan fakta. ‘Pelatihan’ soal ‘newspeak’ nampaknya begitu berhasilnya. Paket hemat distorsi itu nampaknya diyakini khasiat-mujarabnya dalam ‘to deceive and control its residents’. Dan jika kematian George Floyd yang disusul oleh gerakan BLM itu tidak terjadi, dan kematian akibat COVID-19 di AS sono tidak begitu banyaknya, jangan-jangan Trump akan menang lagi, bahkan jika alternative facts-nya itu terus saja didendangkan. Hari-hari ini kita melihat pemerintahan sosialis Kuba sedang menghadapi demo besar rakyatnya terkait dengan semakin langka dan mahalnya bahan pokok makanan, serta obat-obatan di tengah-tengah wabah pandemi. Dari hal-hal ini apa yang bisa kita pelajari untuk sementara ini? Nampaknya tali-temali antara harapan dan ketakutan seperti diungkap oleh Spinoza itu bisa sebagai titik berangkat. Harapan yang dibajak secara ekstrem oleh fakta alternatif itu nampaknya hanya bisa ‘dibongkar’ dengan ekstrem-nya ketakutan. Ketakutan yang paling ekstrem adalah ketika kematian sungguh ada di depan mata. Nyawa melayang seakan sedang menunggu undian saja.

Ketika kematian sungguh mendekat, kebanyakan manusia akan sampai pada satu titik ia akan ‘dipaksa’ melihat secara berbeda, ia akan lebih mampu ‘menunda’ bermacam hal, dan bahkan melihat bermacam hal justru sebagai ‘pemula’. Inilah waktu yang tepat untuk menjadi ‘otentik’ karena di seberang kematian ia merasa sudah tidak punya kesempatan lagi. Termasuk juga terhadap  fakta-fakta alternatif itu, meski dalam keadaan normal-pun ia sudah tahu bahwa itu ugal-ugalan saja. Maka ketika aroma kematian menjadi latar-belakang, fakta-fakta alternatif yang disodorkan secara bertubi-tubi oleh the tyrannical government itu-pun akan terhayati sebagai ancaman. Sebagai yang justru ikut mendekatkannya pada kematian. Sihir cuci-otak itupun mengalami keretakan yang besar. Inilah mengapa eksploitasi harapan dan ketakutan melalui rute bombardir fakta alternatif itu menjadi semakin cepat sampai pada masa kedaluarsanya.

Bagi para aristokrat, para transnational capitalist corporations itu, basis adalah relasi-relasi kekuatan produksi. Bagi politisi dalam menghadapi dinamika gejolak basis, ideologi dalam fungsi integrasi-nya adalah salah satu bahan bakar energi utamanya. Bagi khalayak kebanyakan, mempertahankan hidup adalah dinamika utama dalam hidup kongkretnya di basis. Soal basic needs. Tidak peduli relasi produksi itu ada dalam ranah kapitalis atau sosialis. Biden tahu persis apa yang dihadapinya, maka untuk mendekatkan diri pada si-demos, selain menganggarkan stimulasi langsung pada khalayak, ia ‘merestorasi’ para aristokratnya dengan menggandeng pula sains. Para ilmuwan yang sudah teruji kualitas dan integritasnya. Tidak yang level-nya level Rektor UI itu. Yang seperti ini jelas tidak akan laku di dunia sains yang bermartabat. *** (14-07-2021)

 

[1] Antonio Negri, Michael Hardt, Empire, Harvard University Press, 2001, cet-4,  hlm. 314

[2] Ibid, hlm. 309-311

[3] Meminjam istilah Platon dalam Alegori Kereta Perang

[4] https://www.latimes.com/books/

jacketcopy/la-et-jc-george-orwell-20170125-story.html

 

Dari Ideologi ke 'Fakta Alternatif'