www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-07-2021

Sama-sama jika diukur dengan detik, menit, dan jam, satu jam lamanya akan berbeda rasanya jika menunggu sahabat sedang di operasi karena kecelakaan, dengan saat nonton bola misalnya. Tetapi bagaimana jika di ruang tunggu depan kamar operasi itu ada televisi yang sedang siaran langsung pertandingan bola? Mungkin sedikit mengurangi ‘ketegangan’ saat itu. Atau tiba-tiba saja keluar petugas dari dalam kamar operasi dan bilang supaya tenang-tenang saja karena operasinya lancar. Mungkin kita akan lebih rileks lagi menjalani rentang waktu 1 jam itu, bahkan jika petugas itu sebenarnya bukan petugas yang tahu persis soal operasinya, tetapi siapapun itu dengan asal njeplak-nya. Karena operasi sebenarnya masih jauh dari harapan suksesnya.

***

Dalam sistem presidensiil, pemilihan presiden pastilah akan menyedot banyak perhatian, tenaga, waktu, uang, dan bermacam lagi. Bahkan jika memakai istilah ‘investasi’, pada jabatan presiden-lah ‘investasi’ akan banyak ditaruh. Maka tak heran pula bermacam hal akan selalu diupayakan untuk ‘menyelamatkan’ investasi tersebut. Upaya penyelamatan investasi itu jika diamati akan berlaku ‘hukum terbalik’ terkait dengan kualitas sosok presiden tempat ‘investasi’-nya ditaruh. Semakin rendah kualitas presiden maka semakin tinggi pula energi untuk ‘menyelamatkan’-nya. Apalagi jika ‘mainan’ utamanya adalah ‘fakta alternatif’ itu. Lihat misalnya, sik-Trump itu sampai harus ‘menyeret-nyeret’ kepala serdadu-nya saat itu, Mark Milley untuk foto bersama bulan Juni 2020 lalu. Untung Mark Milley segera mengklarifikasi: “I should not have been there. My presence in that moment, and in that environment, created the perception of the military involved in domestic politics.” Mengapa mainan ‘fakta alternatif’ itu, atau katakanlah ngibal-ngibul semau-maunya itu pada akhirnya bisa menyeret-nyeret yang pegang senjata untuk masuk arena? Karena pada dasarnya keranjingan bermain-main dengan ‘fakta alternatif’ itu adalah salah satu bentuk kekerasan juga! Ngibal-ngibul dalam ngobrol-glécènan di warung kopi atau warung teh mungkin biasa-biasa saja, tetapi tidak di ranah negara. Karena ketika itu menjadi sebuah keranjingan maka fakta alternatif itu kemudian akan menjadi salah satu bentuk kekerasan, karena ia –sadar atau tidak, itu akan menghambat bermacam potensi untuk berkembang. Potensi berkembang yang mestinya berangkat dari hal-hal kongkret sehari-hari, bukan dari bermacam dis-informasi, distorsi itu. Akankah Kaizen misalnya, akan berperan sentral dalam membuat Toyota berkembang meraksasa jika didasarkan pada ngibal-ngibul belaka? Tidaklah, karena dalam Kaizen pasti akan berangkat dari hal-hal kongkret apa adanya dalam rantai produksinya. Sangat jauh dari apa yang kita kenal sekarang ini sebagai ‘fakta alternatif’ itu. Menurut Galtung, terhambatnya bermacam potensi untuk berkembang adalah salah satu bentuk kekerasan juga. Dan juga masalahnya, ketika sudah begitu ‘akrab’, sudah begitu biasanya -sadar atau tidak, dengan satu bentuk kekerasan itu, bisa-bisa dengan tanpa beban pula ia akan ringan-kaki ‘loncat’ ke kekerasan bentuk lain. Kekerasan yang berdarah-darah, misalnya. Seperti ditunjukkan oleh sik-Trump itu. Untung saja kepala serdadunya itu sungguh tahu batas. Kalau tidak? Lain cerita tentunya.

***

Katakanlah ada nada 1, 2 dan 3, dan sekarang, saat ini, now, kita sedang mendengar nada 2, pada saat ini pula bukan berarti nada 1 terus menghilang 100%. Tetapi nada 1 seakan ‘tertahan’ dan ikut memberi ‘nuansa’-nya saat kita mendengar nada 2. Nada 3 meski belum kita dengar, tetapi seakan sudah hadir dalam antisipasi kita. Ketika presiden ditetapkan, tidak salah-salah amat jika bermacam harapan ditaruh di pundaknya. Harapan yang naik begitu tingginya sesuai dengan ditebarnya bermacam janji. Tetapi bagaimana jika bahkan pada kesempatan pertamanya menjadi presiden ia sudah ingkar janji? Dan keingkaran selanjutnyapun seperti mengalir tiada henti. Tidak hanya ingkar, tetapi juga kemudian keranjingan bermain-main dengan ‘fakta alternatif’ itu. Maka ‘tantangan’ bagi sang-‘sutradara’, bagaimana ‘nada 1’ itu tidak kemudian mengalami ‘retensi’ atau tertahan untuk memberikan ‘nuansa penghayatan’ ketika ‘nada 2’ terdengar? Dan juga sekaligus ‘nada 3’ tidak hadir sebagai hal yang diantisipasi?

Maka pertama-tama yang akan dicoba pertama-tama adalah meski nada 1-2-3 tetap berdenting, tetapi nada-nada itu diupayakan untuk didendangkan di ranah ‘monarki’. Dia tidak hanya sekedar terpilih dalam mekanisme demokrasi, tetapi dia adalah sang-raja! Bahkan bukan pilihan si-demos sebenarnya, tetapi langitlah yang memilihnya! Karena langit yang memilih maka ia tidak perlulah memegang janji-janjinya pada si-demos. Maka didandanilah, atau maka berdandanlah, ia bak raja-raja itu. Mirip dengan dandanan sosok raja ketoprak itu. Maka kemudian mengalirlah litani puja-puji dari orang-orang bayaran itu. Narasi puja-puji sebagai ‘orang baik’, bahkan ‘orang suci’, tak kalah dengan orang-orang suci jaman doeloe. Gila memang! Jika mengikuti pendapat van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, khalayak ‘diminta-dipaksa’ menghayati adanya itu dalam penghayatan mitis-nya. Layaknya sihir monarki jaman doeloe. Maka ‘teater negara’ itu perlahan digeser dalam sebuah ‘teater raja-raja-an’. Komplit dengan lempar-lempar bingkisan dari sang raja pada hamba-hambanya itu. Rakyat jelata. Komplit juga dengan glorifikasi kemurahan hati dari sang-raja kepada rakyat jelatanya. Lihat misalnya, betapa mulianya sang-raja malam-malam bagi-bagi bingkisan! Bagi-bagi sertifikat. Semakin nampak mulia ketika para hulubalang-nya pethakilan tidak karu-karuan. Omongan asal njeplak sana-njeplak sini, tentu sesuai arahan sang-sutradara. Kalau nggak manut, nggak ikut saja arahan sutradara, kasus-kasusnya pastilah akan diodal-adil.

Mungkin pada satu saat tertentu semua orang akan terpaku dengan sihir-sihir dalam ‘teater raja-raja-an’ itu, atau sebagian terus saja selamanya terpaku seakan tidak bisa lepas dari sihir tersebut, tetapi pastilah akan ada bahkan banyak yang akhirnya tersadarkan. Sadar bahwa esensi adanya presiden terpilih adalah untuk mewujudkan bermacam janji-janji yang sudah ditebar. Dan dengan itu pula ia akan di-‘evaluasi’ berhasil atau tidaknya. Bukan main raja-raja-an.

Maka pada ‘level ke-2-nya’ ditebarlah bermacam ‘fakta-fakta alternatif’ itu. ‘Fakta-fakta lain’ yang akan ‘mengkudeta’ langgam nada 1, 2, dan 3 seperti contoh di atas. Bukan ranah-nya yang diotak-atik, tetapi ‘nada-nada’-nya. Yang di-acak-acak adalah ‘horison’ bersama khalayak. Dan pada titik inilah sebenarnya kekerasan itu sudah mulai bisa dirasakan. Horison bisa dikatakan adalah ‘ruang untuk sebuah kemajuan’. Ketika ia diacak-acak semau-maunya maka akan terhambatlah potensi kemajuan itu. Potensi untuk ‘memajukan horison’ itu seakan sedang dipermainkan semau-maunya.

Masalahnya adalah ketika horison yang sedang dihayati itu sampai pada satu titik: ‘horison kematian’, yang tidak mungkin lagi ‘dimajukan’. Mau diacak-acak dengan cara apapun, ‘horison kematian’ itu akan tetap ‘kukuh’ sebagai horison dalam menghayati bermacam hal. Dan itulah sebenarnya batas dari ‘khasiat’ main-main dengan ‘fakta alternatif’ itu. Hanya dengan potensi kematian lebih mengerikanlah gejolak khalayak mungkin akan bisa dikendalikan. Contoh seperti terjadi di Korea Utara itu. Dan inilah salah satu skenario terburuk jika dalam satu komunitas kualitas seorang presidennya adalah level kacung. Level boneka saja. Tidak hanya hidup bersama akan terperangkap dalam langgam seorang boneka, tetapi lebih dari itu, otoritarianisme komplit dengan kekerasan yang berdarah-darah-pun akan semakin membayangi hidup bersama. *** (18-07-2021)

 

Terjebak Dalam Dunia Boneka