www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

24-07-2021

Terberitakan Jepang sudah mampu meningkatkan kecepatan internet dalam kecepatan yang mungkin 10 tahun lalu tak terbayangkan. Memang saat ini belum bisa dinikmati oleh khalayak, tetapi tinggal tunggu waktu saja kiranya. Pada saat yang sama, terberitakan salah satu tagar yang menjadi trending di republik: #PakdeMenclaMencle. Coba kita bayangkan dua hal tersebut: mencla-mencle vs 319 Tbps, tera-bite-per-second.

Adanya tipu-tipu dalam politik pastilah tidak bisa hilang sama sekali, dan kebanyakan akan paham pula tentang hal tersebut. Tetapi ketika tipu-tipu itu dirasakan oleh banyak pihak sebagai mencla-mencle, maka bisa-bisa itu adalah penampakan puncak gunung es dimana sebenarnya kemuakan atas aksi tipu-tipu itu sudah sedemikian besarnya. Kemuakan atas aksi ingkar-janji yang begitu telanjangnya dan bertubi-tubinya. Ada proses-proses molekuler kemuakan yang terus bertambah dari waktu-ke-waktu. Bahkan sebagian memilih mematikan televisi-nya ketika yang mencla-mencle itu tampil di layar tivi. Atau mematikan radio ketika suara si-mencla-mencle itu terdengar. Atau memilih melihat hal lain ketika wajahnya ada di bermacam spanduk atau baliho. Intinya, kemuakan itu sudah sedemikian memuncaknya.

Manuel Castells dalam trilogi-nya di bagian akhir abad 20 menuliskan bahwa dalam dunia yang serba cepat dengan fasilitasi kemajuan teknologi komunikasi yang kemudian membangun ‘masyarakat jaringan’ itu, identitas bisa menjadi sumber penting dalam pencarian makna. Yang jadi masalah nampaknya bukan pada identitas yang kemudian menjadi sumber utama dalam pencarian makna, tetapi adalah pada ‘an instinct to exclude’-lah potensi buram soal identitas itu bisa mengemuka, meminjam tilikan Amy Chua dalam Political Tribalism (2019). Di bagian akhir Political Tribalism itu, Amy Chua menyitir pendapat salah satu penulis, mengatakan bahwa modus komunikasi face-to-face, tatap-muka langsung bisa mengurangi bermacam prasangka. Pendapat ini secara tidak langsung mendapat penguatan dari Emmanuel Levinas, terkait adanya ‘tuntutan etik’ dalam peristiwa face-to-face tersebut. Tetapi lepas dari itu, dan jika kembali pada pendapat Castells dimana identitas bisa menjadi sumber utama dalam pencarian makna di era digital ini, apa sebenarnya yang diharapkan dalam identitas itu sehingga ia bisa menjadi ‘sumber utama’?

Apakah dalam identitas itu seakan kita dapat secara ‘short-cut’, atau bahkan taken for granted saja saat ‘minta bantuan’ dalam upaya membedakan antara ‘yang baik’ dan ‘yang buruk’, atau ‘yang buruk’ dengan ‘yang lebih buruk’ dalam dunia yang serba cepat ini? Di dalam dunia dengan merebaknya ‘logika waktu pendek’ itu? Seakan-akan dalam identitas yang kita masuki ketika makna semakin tidak mudah digapai itu, identitas telah menyediakan banyak bantuan dalam membedakan hal-hal seperti di atas. Jika ya, maka kita bicara soal etika dalam hal ini. Jika ya, bisa dikatakan untuk mengurangi tensi ‘an instinc to exclude’ itu maka etika dalam hidup bersama memang harus berkembang. Hidup bersama yang tak terhindarkan akan terdiri dari bermacam kelompok, bermacam identitas itu semestinya punya ‘kesepakatan-kesepakatan’ bersama tentang hal-hal yang etis. Etika dalam hidup bersama bisa menjadi ‘orang ketiga’ yang mungkin saja bisa mengurangi tensi ‘an instinct to exclude’ ketika banyak orang menggali identitas dalam mencari makna.

Ketika Angela Merkel bersama rombongan pejabat pusat mengunjungi wilayah terdampak banjir bandang di Jerman baru-baru ini, tertangkap kamera dua-tiga orang di belakangnya sedang bersendau-gurau. Apa di belakangnya sehingga itu mendapatkan komentar miring dari si-pengambil berita? Dan juga komentar tak suka di bermacam media sosial? Padahal bersendau-gurau pastilah tidak melanggar hukum. Maka jelas itu masalah etika. Dan untung juga Merkel tidak kemudian keluar dari rombongan, dan kemudian bergaya berjalan sendiri di sekitar puing-puing, hanya diikuti kamerawan saja. Bisa-bisa jika itu dilakukan, korban banjir bandang akan mengambil lumpur dan dilemparkan ke mukanya. Mudah saja meraba alasan jika itu dilakukan oleh para korban: sudah tahu bencana kok malah shooting aksi gegayaan demi citra diri! Jika itu dilakukan Merkel maka jelas ia adalah pemimpin yang memang tidak tahu etika. Untung tidak dilakukan.

Banjir bandang di Jerman, dan di Belgia itu adalah salah satu bencana di bagian utara katulistiwa yang terberitakan akhir-akhir ini. Banjir luas di China, kebakaran hutan hebat di AS, dan terjangan udara panas di Kanada. Bermacam bencana yang segera dihubungkan dengan perubahan iklim, atau: kedaruratan iklim. Dan diyakini oleh para ahli, ke depan akan semakin sulit diprediksi bermacam akibat dari perubahan iklim ini. Artinya adalah hidup bersama akan semakin dihadapkan bermacam meningkatnya ketidak-pastian. Entah karena kemajuan teknologi atau alam-semesta yang juga terus bergejolak. Belum lagi dinamika geopolitik-geoekonomi global.

Di tengah-tengah bermacam tantangan itu maka adalah sangat penting untuk membangun kehidupan ‘internal’ hidup bersama yang mempunyai kemampuan lebih dalam menghadapi tantangan. Dan itu sangat tidak cukup dengan jargon-jargon kosong. Jelas tidak cukup. Bahkan bisa-bisa kontra-produktif. Jika kita berani mengambil semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ maka itu pada dasarnya kita mengakui juga adanya bermacam identitas dalam hidup bersama. Maka masalah utamanya seperti sudah disinggung di atas, salah satunya adalah bagaimana mengurangi tensi ‘an instinct to exclude’ itu. Dan dalam konteks tulisan ini, etika dalam hidup bersama bisa menjadi ‘pihak ketiga’[1] yang mesti dibangun. Tetapi bagaimana ketika dunia ‘basis’, dunia relasi kekuatan-kekuatan produksi itu terlalu banyak diwarnai oleh laku nir-etika, laku mengkangkangi hukum? Maka memang diperlukan aktor-aktor politik yang mumpuni, yang paham etika. Kelas medioker yang tak punya etika[2] pada akhirnya justru akan menjerumuskan hidup bersama dalam keburaman sejarah. Terlebih ketika tantangan obyektif sekarang dan ke depan akan semakin lekat dengan ketidak-pastian itu. *** (24-07-2021)

 

[1] Dalam ‘third man argument’-nya Platon soal persahabatan

[2] https://www.pergerakankebang

saan.com/784-Biaya-biaya-Merawat-BTPE/

Kita dan Kecepatan