www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

05-08-2021

Bagai masih berusaha keras menstabilkan kadar gula dalam sehari-harinya karena mengidap diabetes, tetapi tidak mau merawat diri dari ancaman serangan gangren, demikian gambaran ketika muncul terberitakan Emir Moeis, terpidana korupsi sekitar 9 tahun lalu itu diangkat jadi komisaris salah satu anak perusahaan BUMN. Dan ini adalah salah satu cerita dari sekian cerita yang bisa menggambarkan bagaimana kebusukan itu konstan menyebar.

Tetapi ada yang membela: memang ada kebusukan di sana-sini, tetapi toh mestinya ada hal lain di luar hal busuk itu. Tentu boleh-boleh saja argumentasi itu muncul, dan bisa-bisa tidak salah-salah amat. Dan janganlah terlalu merendahkan kemampuan manusia dalam hal rasa-merasa, hal-hal seperti itu pastilah banyak yang ujungnya akan paham pula: dari sekian kejelekan, pastilah ada baik-baiknya juga.

Manusia dengan segala gejolak hasrat-nya tentu akan juga melahirkan kebusukan di sana-sini. Tetapi busuk dan terlalu busuk mestinya berbeda, dan khalayakpun banyak yang bisa membedakan pula. Merasa-rasakan bagaimana sebuah makanan bisa kurang enak, tidak enak, atau bahkan ketika reseptor rasa di mulut sudah tidak bisa menerima lagi. Maka ketika dirasa-rasa sudah terlalu busuk, sudah tidak waktunya lagi mengajukan argumentasi dikait-kaitkan dengan hal lain di luar hal busuk itu. Mengapa? Karena ketika terlalu busuk konsekuensinya akan jauh lebih besar dari pada hal-hal di luar hal busuk itu.

Rejim pastilah tidak akan lepas dari kuasa, dan ketika sebuah rejim menjadi terlalu busuk, bisa-bisa kuasa pertama-tama akan digunakan untuk menutupi kebusukan itu. Thomas Hobbes dalam Leviathan menunjukkan hal itu. Hasrat akan kuasa dari manusia bukan saja soal menambah atau menumpuk sesuatu, tetapi juga untuk melindungi apa-apa yang sudah diperoleh. Dan ditegaskan juga oleh Hobbes, hasrat akan kuasa (power) itu bahkan akan selalu membayang sampai ajal menjemput. Will to power itu ternyata tidak ada pensiun-nya. Selain soal pengendalian hasrat (kuasa) melalui rute hasrat vs hasrat, hukum dan meritokrasi bisa menjadi rute yang sebenarnya bisa diandalkan untuk mengurangi kegelapan hasrat kuasa. Kegelapan kuasa yang akan berbanding lurus dengan kebusukan yang dilahirkan. Hukum dan meritokrasi adalah ‘pihak ketiga’[1] sehingga hidup bersama lebih bisa dipertahankan untuk menggapai sesuatu sesuai kesepakatan awal-nya. Menurut Polybius, manusia berkumpul karena ketakutan akan gejolak semesta yang begitu tidak pastinya. Menemukan tantangan yang tepat di luar hidup bersama adalah juga tambahan ‘amunisi’ sebagai ‘pihak ketiga’ yang akan mengurangi tensi amuk kegelapan hasrat akan kuasa. Maka memang will to power ini mesti ‘dikendalikan’ dari ‘segala arah’ mengingat liar-dahsyat gejolak hasratnya. Bahkan Nietzsche-pun sudah mengingatkan bahwa will to power ini bisa lebih kuat dari will to survive. Nampaknya benar yang dikatakan Mangunwijaya, kualitas suatu bangsa itu bisa dilihat dari bagaimana ia mengelola kekuasaan. Dan mengelola kuasa itu pertama-tama adalah soal ‘skema’ dan praktek pengendalian kuasa.

Selain soal kualitas diri si-pemegang kuasa, atau si-calon, yang lebih penting adalah soal check and balances. Terlalu busuk bisa semakin meningkat potensinya ketika yang semestinya melakukan check and balances itu secara konstan juga dibusukkan. Cobalah kita telisik bagaimana pihak-pihak yang mempunyai potensi check and balances itu dibusukkan secara sistematis, terstruktur, dan massif. Bahkan sampai pada Perguruan Tinggi pula. Belum soal yudikatif-nya, legislatif-nya. Masyarakat sipil-nya. Pers-nya. Sosial media-nya. Tetapi meski itu semua sudah ‘digarap’ habis-habisan, tetaplah akan ada dan bahkan semakin banyak yang ‘tidak kuat’ lagi hidup berdampingan dengan segala kebusukan yang sudah ugal-ugalan itu. Dan inilah konsekuensi ketika sudah terlalu busuk itu: semakin meningkatnya penggunaan kekerasan. Tak jauh dari yang digambarkan oleh Dom Helder Camara sebagai spiral kekerasan. Terlalu busuk pada akhirnya akan terhayati sebagai ketidak-adilan yang ugal-ugalan. Masih mau membela bahwa toh masih ada hal baik? Tidaklah ..., masalahnya sudah terlalu busuk itu! *** (05-08-2021)

 

[1] Dalam ‘pihak ketiga’-nya Platon terkait dengan persahabatan

Terlalu Busuk dan Konsekuensinya