www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

06-08-2021

Apa salah satu ciri penting dari seorang pengkhianat? ‘Raja-tega’! Atau katakanlah, tipis urat empatinya. Mereka, para pengkhianat itu miskin kemampuan untuk menempatkan diri atau membayangkan jika ia ada di tempat orang lain. Empati dalam banyak hal bisa dikatakan menjadi salah satu pilar hidup bersama. Bahkan mekanisme pasar-pun dikatakan Adam Smith akan lekat dengan soal empati ini, yang dulu disebutnya sebagai simpati. Masyarakat sipil yang salah satu pilarnya adalah ke-suka-rela-an itu juga tidak jauh-jauh amat dari soal empati. ‘Suasana kebatinan’ hidup bersama-pun tidak lepas dari soal empati ini, terutama dari sisi ‘bangunan atas’: dinamika politik yang dinampakkan oleh perilaku dan keputusan aktor-aktor politiknya. Empati sebagai salah satu titik berangkat dalam merespon bermacam gejolak di ‘basis’ dimana ‘suasana kebatinan’ akan lebih terwarnai. Maka bagi pemegang ‘pakta dominasi’ dalam relasi-relasi kekuatan produksi di basis itu, kemampuan aktor politik dalam ber-empati tentu akan diperhitungkan dengan cermat. Yang di-idam-idamkan adalah yang tipis kemampuan empati-nya itu. Sebab jika tinggi kemampuan empatinya ia bisa-bisa akan berkendak kuat mempengaruhi relasi-relasi kekuatan produksi itu sehingga ‘yang tercecer’ bisa semakin kecil.

Terlebih jika ‘basis’ itu sangat lekat dengan perburuan rente, kapitalisme kroni, dan sekitarnya. Aktor politik yang kuat empati-nya akan ‘mudah jengkel’ melihat luasnya kerusakan dan korban dari modus relasi produksi semacam itu. Orang boleh-boleh saja berpendapat bahwa dalam politik tidak ada tempat bagi etika, seperti keyakinan dari pengikut realisme politik sayap radikalnya. Tetapi bagaimanapun juga politik ada bukan di ruang kosong. Bagaimanapun ia ada tidak lepas dari semangat jaman. Dengan kondisi obyektif yang berkembang, dari kemajuan teknologi dengan segala akibatnya, dengan segala perang yang sudah terjadi, dengan meningkatnya populasi dunia dan terbatasnya sumber daya, ditambah dengan kedaruratan iklim yang disana-sini sudah nyata dampak-dampaknya, masalah etika semakin dirasakan intensnya dalam ikut mewarnai semangat jaman itu. Dan kemampuan ber-empati bisa menjadi salah satu bahan bakar dalam menapak jalan etis itu.

Maka jika di tengah kegundahan yang mendalam terkait dengan pandemi ini ada yang nekad-nekad saja memasang baliho demi perebutan kuasa yang bahkan itu masih 3 tahun ke depan, janganlah marah-marah. Jika itu dilakukan (pasang baliho di mana-mana di tengah pandemi) justru kita harus berterimakasih. Tidak usah capek-capek menelisik rekam jejak, dengan itu saja kita sudah yakin muka-muka yang terpasang dalam baliho itu adalah muka-muka calon pengkhianat. Jika dalam imajinasi mereka bahwa di tengah bencana ini justru waktu yang tepat untuk menebar baliho diri maka janganlah kita buang-buang energi dengan kemuakan, cukup imajinasikan saja juga bahwa muka-muka itu memang layak ditendang masuk got. Tidak lebih dari itu, imajinasikan saja bahwa mereka itulah calon-calon pengkhianat cita-cita Proklamasi. *** (06-08-2021)

Baliho Para Calon Pengkhianat