www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

11-08-2021

What's irritated me about the whole direction of politics in the last 30 years is that it's always been towards the collectivist society. People have forgotten about the personal society. And they say: do I count, do I matter? To which the short answer is, yes. And therefore, it isn't that I set out on economic policies; it's that I set out really to change the approach, and changing the economics is the means of changing that approach. If you change the approach you really are after the heart and soul of the nation. Economics are the method; the object is to change the heart and soul,” demikian Thatcher dalam sebuah wawancara di tahun 1981.[1] Dengan sedikit meliarkan imajinasi, kita bisa berandai-andai, bagaimana jika bicara soal Perguruan Tinggi dengan memakai logika yang Thatcher di atas? Bukan soal collectivist society yang dikritik Thatcher, tetapi soal ‘method-heart-soul’-nya.

Apa yang mau ditekankan di sini adalah soal ‘keutamaan intelektual’, soal virtue. Bukankah dengan membangun ‘keutamaan intelektual’ itu, soal ketiga hal dalam Tri Dharma itu akan lebih berdaya dorong? Bahkan jika tidak dieksplisitkan sekalipun. Lihat misalnya ketika terberitakan ada ilmuwan Indonesia yang ikut terlibat dalam pembuatan vaksin di negeri seberang itu, tiba-tiba saja mau kita undang pulang. Kapan ia melakukan ‘pengabdian masyarakat’ pada republik? Bukankah dengan kesungguhan pengembangan intelektualnya tiba-tiba saja ia bisa menjadi begitu bergunanya bagi hidup bersama? Bahkan jika katakanlah, sebagian besar waktunya dalam dunia pendidikan itu ia lebih berkutat di laboratorium. Atau ia tidak pernah absen sekalipun dalam kesungguhannya mendampingi mahasiswa.

‘Laris’-nya jualan revolusi mental sekitar 7 tahun lalu itu sedikit banyak mengindikasikan apa yang disinggung Thatcher di atas diamini banyak pihak, bahkan jika itu ada di bawah sadarnya. Kalau si-pengusung revolusi mental itu pada satu saat justru mempermainkan lembaga pendidikan tinggi seperti saat ramainya kasus rektor UI baru-baru ini, itu masalah lain. Masalah yang harus diselesaikan oleh hidup bersama ketika harapan telah diacak-acak secara brutal. Masalah bagaimana membangun dinamika politik yang sungguh punya gigi ketika berhadapan dengan gejolak ‘basis’ yang lekat dengan perilaku semau-maunya itu, lekat dengan segala pat-gu-li-pat itu. Atau kalau kita boleh kembali pada lontaran Koentjaraningrat kira-kira 7 tahun sebelum wawancara Thatcher seperti dikutip di awal tulisan, mengapa rasa-merasa soal mentalitas suka menerabas misalnya, masih terasa denyutnya sampai sekarang? Atau lemahnya tanggung jawab yang kokoh, kurangnya disiplin dan menghargai mutu tinggi?

Maka ketika terberitakan Aliansi Gerakan Peduli UI, atau siapa saja yang menggugat revisi statuta UI itu sangatlah pantas untuk didukung. Patut didukung karena ketika politik yang lekat dengan ‘kegelapan’ itu mengacak-acak lembaga seperti lembaga pendidikan tinggi misalnya, maka dapat dipastikan ‘keutamaan intelektual’ akan semakin menjauh. ‘Keutamaan intelektual’ itu tidak ada hubungannya dengan apa yang mau dibidik oleh NKK/BKK di jaman old. Dan jangan membayangkan bahwa ‘keutamaan intelektual’ itu akan serta merta berubah menjadi ‘menara gading’ yang terisolir dari dinamika sekitarnya. Justru dengan –salah satunya, ‘keterbukaan pikir’ misalnya, bermacam kemungkinan akan berkembang pula, termasuk kemungkinan munculnya ‘keterusikan intelektual’ ketika sekitarnya menjadi semakin buram saja. *** (11-08-2021)

 

[1] https://www.margaretthatcher.

org/document/104475

Sebelum Tri Dharma