www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-08-2021

Apakah pengejaran kepentingan diri itu adalah satu-satunya hal rasional dalam ekonomi? Di luar itu adalah pilihan yang tidak rasional? Amartya Sen menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai komitmen itu adalah juga hal yang rasional. Sen membedakan antara simpati dan komitmen. Jika pengetahuan akan penganiayaan membuat kita terganggu, atau ikut seakan merasa sakitnya, itulah simpati. Komitmen jika kita tahu bahwa itu salah dan kita siap untuk menghentikannya, dan mungkin saja kita yakin tidak akan dianiaya misalnya. Engels misalnya, ia lahir, dan kemudian besar bukan sebagai seorang proletar, tetapi ia tahu bahwa proletarisasi itu salah, dan bersama Marx ia siap untuk menghentikannya. Obama ketika mengajukan Obamacare-nya dituding oleh Republik sebagai komunis, sosialis, dan sekitarnya, tetapi ia tahu bahwa ketika banyak yang tidak mempunyai jaminan kesehatan yang memadai itu adalah salah, dan ia siap dan kemudian gigih memperjuangkan Obamacare itu. Dan berhasil! Mungkin banyak para pejuang kemerdekaan itu bukanlah orang-orang yang miskin-miskin amat. Tetapi mereka tahu bahwa kemiskinan akibat penjajahan itu haruslah dihentikan, dan mereka bahkan siap mengorbankan banyak waktu, kesempatan, dan bahkan jiwa-raganya demi menghentikan penjajahan itu sehingga kemiskinan di depan mata bisa dihilangkan.

Jika kita lihat dalam jarak tertentu, pengejaran kepentingan diri dan komitmen ini sebenarnya bisa kita bayangkan seperti ditulis Ignas Kleden (lihat bag. 2): sistem kapitalis itu baik kalau selalu diancam oleh sistem lain. Dan sistem itu sekarang bisa kita lihat tidaklah mesti sistem sosialis atau sekitarnya, tetapi bisa juga orang-orang yang ber-komitmen. ‘Rumah besar’-nya memang masih sistem kapitalis, tetapi disana-sini bertebaran orang-orang yang ber-komitmen. Yang jadi masalah adalah bagaimana orang-orang ber-komitmen ini mempunyai kekuatan dalam ranah politik. Dan bagaimana ketika ia sampai pada kekuasaan tidak kemudian luntur dan menguap komitmennya. Karena bagaimanapun juga, ‘kubu’ yang meyakini bahwa satu-satunya hal yang rasional itu adalah kepentingan diri, bukannya tanpa kekuatan sama sekali. Bahkan kekuatannya bisa dikatakan sungguh dahsyat.

Maka baik yang kemudian disebut sebagai ‘kediktatoran yang baik hati’ itu dan dengan yang menggunakan sistem ‘multi partai’ hanya akan berhasil dalam sistem kapitalis jika orang-orang yang berkomitmen itu berkekuatan politik yang kuat. Dan tentu dikanan-kirinya tidak dipenuhi dengan para penjilat yang gagap dan bahkan mengikis kemampuan untuk melakukan kritik-otokritiknya. Tetapi pada sistem ‘multi-partai’-lah sebenarnya di banyak komunitas yang lebih menampakkan hasil baiknya. Bagi republik, dari segi apapun ber-angan adanya ‘kediktatoran yang baik hati’ itu bisa dikatakan hanya akan terjerembab pada ilusi saja. Ilusi yang justru akan berujung pada sebuah bencana.

***

Banyak yang bilang karena ‘senasib-sepenanggungan’-lah maka di jaman perjuangan merebut kemerdekaan membuat banyak pihak untuk bersatu. Tetapi dari bermacam catatan sejarah kita tahu juga bagaimana hal perasaan ‘senasib-sepenanggungan’ itu bisa muncul di beberapa kalangan. ‘Politik Etik’ salah satunya dari sisi lainnya bisa dikatakan ikut berperan dalam membangun kesadaran itu. Dan juga bermacam kemajuan dalam teknologi komunikasi dalam berbagai bentuknya. Juga adanya guru-guru Barat yang langsung atau tidak langsung juga menjadi model bagi beberapa orang. Model dalam berpikir bebas, misalnya. Istilah ‘hipokognisi’ yang dipakai Robert Levy di awal 1970-an yang menggambarkan bagaimana tingginya angka bunuh diri di masyarakat Tahiti waktu itu mungkin bisa menggambarkan situasi saat itu. Maksudnya, retaknya ‘hipokognisi’ yang diprovokasi tidak hanya situasi obyektif di depan mata, tetapi terlebih karena semakin terbukanya akses ke bermacam pengetahuan. Yang kalau dalam film-film kartun, akses ke bermacam pengetahuan itu tiba-tiba saja mendorong apa yang digambarkan sebagai bola lampu yang tiba-tiba saja menyala di dekat kepala. Situasi di depan mata itu tiba-tiba saja menjadi semakin ‘terjelaskan’.

Apa yang mau dikatakan di sini adalah, pada awalnya memang hal yang dialami, tetapi pada selanjutnya tetaplah diperlukan, katakanlah hal ‘pengetahuan’. ‘Pengetahuan’ yang semakin menebal karena proses-proses ‘inter-subyektifitas’ itu. Bahkan dengan sumber-sumber yang melampaui ‘teritorial’. Bisa dikatakan meluasnya ‘inter-subyektifitas’ ini bagai sebuah katalis dari sebuah proses-proses molekuler yang lama sudah terjadi. Dan dengan itu maka apa yang disebut sebagai komitmen itu akan membesar pula kemungkinannya. Tetapi komitmen barulah sebuah ‘syarat mutlak’, dan belum mencukupi. Bahkan ketika ia sudah ditambahkan dengan, katakanlah kuasa. Berkembangnya sebuah komitmen akan lebih berdaya ledak jika dilekati oleh berkembangnya keutamaan. Kita sering bicara soal nilai, etik, moral, tetapi jarang bicara soal keutamaan (virtue). Keutamaan memang akan bersinggungan erat dengan nilai, etik, dan moral, tetapi ia bersinggungan dalam praktek, tidak dengan lainnya. Bahkan dalam titik tertentu bisa juga dihayati sebagai ‘kebiasaan’. Tentu bukan sekedar ‘kebiasaan yang baik’ saja dalam ber-keutamaan ini. Ruang utama keutamaan ini ada di ‘ruang antara’, misalnya, ruang diantara kekerasan dan sikap pengecut, di ruang itu ada keutamaan keberanian. Maka meski bisa terhayati sebagai ‘kebiasaan’, keutamaan pada dirinya sebenarnya lekat dengan ‘hal-berpikir’. Hal kemampuan timbang-menimbang terutama ketika ada di ‘ruang antara’. Untuk itu ada yang memberikan ‘peringkat tinggi’ pada keutamaan ‘kebijakan’, prudence, sophia.

Sebagian besar hidup kita ada di-‘ruang antara’ ini. Misal jika kita bicara politik, kita ada di-‘ruang antara’ antara yang senyatanya ada dan yang seharusnya ada. Tetapi dari mana kita bisa menangkap ‘apa yang senyata’-nya itu? Jika kita menengok hirarki kebutuhannya Maslow, maka kita mesti melihat pertama-tama soal apa yang senyatanya ada dalam kecukupan kebutuhan dasar. Dan itu bisa dilihat dengan menelisik apa-apa yang terjadi dalam dinamika ‘relasi-relasi kekuatan produksi’-nya. Atau kalau kita bayangkan, bagaimana  ‘relasi-relasi kekuatan produksi’ itu dapat menghasilkan ‘pembagian kekayaan’ yang mampu menyejahterakan semua pihak. Tentu kita tidak harus berpikir soal ‘sama-rata-sama-rasa’, atau seperti lebah: ‘bekerja sesuai dengan kemampuan, dan mengkonsumsi sesuai kebutuhan’. Maslow menulis teori hirarki kebutuhan-nya di sekitar 1940-an, di tengah-tengah gegap-gempita-nya nuansa ‘over-determination’-nya kubu komunisme. Maslow seakan ingin mengatakan bahwa manusia itu bukanlah sekedar kumpulan lebah saja. *** (18-08-2021)

Dari Proklamasi ke Reformasi (3)