www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

20-08-2021

Era modern mengangkat soal hasrat pada tempat ‘sebagaimana-mestinya’. Paling tidak di Eropa sana setelah Abad Pertengahan itu. Pada Abad Pertengahan, hasrat banyak ditekan disana-sini oleh nuansa teosentrisme. Thomas Hobbes (1588-1679) yang kakinya mulai menapak era modern itu misalnya, dalam Leviathan bagian pertamanya mengulas soal manusia ‘apa adanya’. Sebelumnya Machiavelli (1469-1527) telah mendorong supaya kuasa dihayati secara rasional. Spinoza (1632-1677) bahkan kemudian menekankan bahwa ‘desire is the very essence of man’. Dari beberapa sumber kita juga bisa belajar bersama bagaimana dampak mesin cetak massal Guttenberg itu, terutama ketika Injil mulai dicetak dengan bermacam bahasa. Agama ‘konvensial’-pun dalam ranah ‘publik’ mulai digantikan dengan ‘agama sekuler’: negara-bangsa. Hal yang ditegaskan oleh Carl Schmitt di awal abad-20an. Sekitar tahun 1920. Maka salah satu cerita lanjutannya adalah bagaimana soal hasrat itu bisa dikendalikan dalam ranah ‘negara-bangsa’ itu. Dengan latar belakang bermacam dinamika hubungan antara negara-bangsa tersebut.

Kalau kita perhatikan lagi, negara-bangsa komunis a la sebelum globalisasi itu kebanyakan sebenarnya adalah bentuk lain dari teosentrisme. Kalau kita menggambarkan teosentrisme sebelum Reformasi Protestan maka ‘dewan kardinal’ misalnya, diganti dengan politbiro yang akan memilih siapa yang jadi ‘paus’-nya. ‘Hirarki gereja’ kemudian serasa partai komunis saja: partai pelopor. Maka tidak mengherankan ‘jebakan over-determination’ itu bisa begitu menggodanya. Tetapi esensinya adalah kurang lebih sama, soal hasrat. Satunya hasrat disana-sini dikekang, satunya lagi hasrat disana-sini dilepas. Kasarnya, yang pertama adalah komunisme, dan setelahnya kapitalisme. Tentu di belakang itu semua banyak hal yang harus diperhatikan, baik dalam perdebatan teoritisnya maupun praktek yang sudah berusia lebih dari 100 tahun itu.

Maka kutipan tulisan Ignas Kleden (lihat bag. 2) soal ‘sistem kapitalis itu baik kalau selalu diancam oleh sistem lain, sedangkan sistem sosialis itu baik kalau tidak diancam oleh sistem lain’ pada dasarnya adalah juga selalu terkait dengan hasrat itu. Dan kita bisa melihat sekarang bagaimana ‘globalisasi’ yang didorong oleh berkembangnya teknologi komunikasi hampir bisa dikatakan bahwa ‘sosialis itu baik kalau tidak diancam oleh sistem lain’ itu hampir tidak mungkin lagi, dalam arti godaan bermacam hasrat itu bagaimanapun akan begitu mampunya menerobos batas dan selalu ‘mengancam’ sistem sosialis a la sebelum Tembok Berlin runtuh. Kalau kita membayangkan sistem kapitalisme yang sungguh dengan upaya keras bisa lebih dijinakkan, misal di beberapa negara Skandinavia misalnya, itu tidak akan terwujud jika para pemimpinnya tidak mempunyai komitmen yang kuat. Tidak akan mewujud jika keutamaan tidak melekat pada para pemimpinnya. Mengapa? Siapa yang akan ‘rela’ dipotong pajak yang begitu besarnya oleh orang-orang yang tipis komitmennya dan berperilaku jauh dari keutamaan itu?

Jika satu komunitas, kondisi ‘basis’-nya sudah berkembang pada ‘kapitalisme monopoli’ dengan bermacam 'varian-gelap'-nya, entah itu kapitalisme kroni, kapitalisme pat-gu-li-pat, kapitalisme kong-ka-li-kong, kapitalisme yang lekat dengan aktifitas pemburuan rente, maka si-pemegang ‘pakta dominasi’ dalam relasi-relasi kekuatan produksi seperti itu akan begitu alerginya dengan orang-orang yang ber-komitmen. Alergi dengan orang-orang yang berkeutamaan. Yang akan didorong naik ke permukaan justru orang-orang yang tipis komitmennya. Orang-orang yang jauh dari keutamaan. Kelas kacung doang. Dan bisa kita bayangkan, ketika satu komunitas dalam kehidupan publik-nya disesaki oleh orang-orang semacam itu, bagaimana soal ‘nation-building’-nya? Benar kata Platon, karakter si-kuda hitam dalam Alegori Kereta Perang-nya itu tidak hanya cenderung semau-maunya, tetapi ia punya karakter untuk meluncur ke bawah. Apalagi jika sais dan kuda putih sudah menjadi lumpuh karena ‘sihir’ kenikmatan si-kuda hitam itu. Kehancuran tinggal menunggu waktu saja. *** (20-08-2021)

Dari Proklamasi ke Reformasi (4)