www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

21-08-2021

Meraksasanya finansialisasi keuangan dalam paradigma neoliberalisme dimulai di tahun 1970-an, yang di-booster juga dengan kemajuan teknologi komunikasi itu telah menggusur ‘ekonomi riil’ dalam volume perdagangannya. Selain karena maraknya spekulasi yang dalam praktek banyak dibayangi oleh ‘insting gerombolan’, ekonomi yang dirasakan lebih banyak mengabdi pada akumulasi itu telah membuat banyak pihak merasa prihatin. Mestinya ilmu ekonomi berkembang juga tentang bagaimana memajukan kesejahteraan bagi bagian terbanyak. Jika kita amati, apa sebenarnya ‘alat utama’ dalam spekulasi keuangan itu? Dalam praktek, alat utamanya adalah rumor, dunia kasak-kusuk.[1] Rumor yang bisa-bisa memicu para ‘kucing gemuk’ itu bergerombol. Dalam ekonomi riil, misal yang melibatkan distribusi barang konsumsi itu, masih melibatkan katakanlah barcode untuk melihat secara cepat tingkat penyerapan pasarnya. Dalam spekulasi keuangan, bisa lebih cepat dari barcode: rumor.

Tentu rumor tidak hanya berperan hanya dalam dunia spekulasi keuangan saja, dan juga spekulasi keuangan tidaklah 100% berdasar rumor belaka. Mungkin sejak manusia mulai berbahasa, ia akan lekat juga dengan bermacam rumor di sekitarnya. Tetapi ketika dunia spekulasi itu kemudian menjadi dominan dalam relasi-relasi kekuatan produksi, paling tidak menurut Marx, bukankah politik akan menjadi lebih lekat dengan olah rumor juga? Dan supaya rumor lebih berdaya-gertak, mungkinkah perlu paling tidak satu ‘prototipe’?

Tetapi di lain pihak, ternyata pandemi dan kedaruratan iklim itu secara telak ‘mengalahkan’ dunia rumor itu. Bermacam ‘teori konspirasi’ atau apapun mau disebut, ternyata semakin terpinggirkan dalam respon terhadap isu pandemi dan kedaruratan iklim ini. Salah satu yang membuat mudahnya rumor merebak adalah ketidak-pastian. Pandemi dan kedaruratan iklim jelas akan menghadirkan ketidak-pastian, dan tetpi ternyata jelas pula bukan rumor yang akan terlibat dalam ‘penyelesaiannya’. Maka bisa dikatakan, pandemi dan kedaruratan iklim, dan sebenarnya juga gejolak geopolitik internasional, telah mendorong banyak pihak untuk melakukan ‘instropeksi besar-besaran’.

Dan apakah tukang ngibul dan gerombolannya itu mampu melakukan ‘instropeksi besar-besaran’ ini? Jika tidak, apa yang dipertaruhkan? Pada bagian awal abad 20 terjadi Depresi Besar yang membuat banyak pihak kemudian ‘dipaksa’ melakukan ‘instropeksi besar-besaran’ juga. Dan sejarah-pun seakan berulang di bagian awal abad 21 ini. Mampukah kita belajar dari sejarah? Sejarah yang menunggu respon dengan keteguhan komitmen, bukan sok-sok-an bahkan jika itu dibarengi dengan menebar air mata sekalipun. Tetapi sekali lagi, dengan komitmen yang teguh. *** (21-08-2021)

 

[1] https://www.pergerakankebang

saan.com/190-The-Power-of-Kasak-kusuk/

Rumor