www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

27-08-2021

Apa esensi dari ‘kutukan sumber daya’ itu? Korupsi! Cara baca paling efektif terminologi ‘kutukan sumber daya’ itu sekali lagi: korupsi. Apa pilar utama kemajuan atau kehancuran suatu bangsa? Korupsi! Adakah bangsa maju dengan dalam waktu bersamaan wabah korupsi terus menggelayuti langkahnya? Tidak ada! Adakah bangsa menjadi megap-megap hidupnya karena wabah korupsi terus menggelayuti langkah-langkahnya? Banyak!

Thomas Hobbes menandaskan bahwa hasrat akan kuasa itu akan terus membayangi manusia sampai ajal menjemput. Hasrat akan kuasa bukan saja untuk ‘memperoleh lebih’ tetapi juga untuk melindungi apa-apa yang sudah ditumpuknya. Maka sebenarnya hukum berkembang supaya ‘memperoleh lebih’ dan ‘melindungi apa-apa yang sudah ditumpuk’ bisa mengurangi potensi penyalah-gunaan kuasa dalam kedua hal tersebut. Jika hukum dibangun melalui bermacam kesepakatan, maka sang-Leviathan-lah yang akan mengawasi sehingga kesepakatan-kesepakatan itu bisa dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan. Korupsi yang sudah ‘terstruktur, masif, dan sistematis’ jelas akan lekat dengan olah kuasa dan soal penegakan hukum ini. Atau kalau kita baca secara terbalik, jika hasrat kuasa sudah semakin bisa dihayati sebagai ‘at all cost’ dan penegakan hukum dalam bermacam hal-nya nampak carut marut maka bisa kita imajinasikan sedang berlangsung korupsi yang ‘terstruktur, masif, dan sistematis’ itu.

Korupsi tidak ada hubungannya dengan ideologi. Apapun ideologinya, korupsi akan selalu membayang. Korupsi adalah soal hasrat, yang ada jauh sebelum ideologi lahir. Bahkan sebelum agama-agama yang kita kenal saat ini dilahirkan. Maka pengendalian korupsi adalah juga soal pengendalian hasrat. Dan itu akan banyak melibatkan dua jalan utamanya, pertama, soal kualitas diri, dan kedua, ketika hasrat ditabrakkan dengan hasrat lain. Penegakkan hukum misalnya, adalah soal hasrat vs hasrat itu. Ketika hasrat memperkaya diri secara ngawur-ugal-ugal-an ia akan berhadapan dengan hasrat akan ‘nama baik’, misalnya. Lihat bagaimana ia akan dipermalukan di depan khalayak ketika harus diborgol dan masuk penjara. Tetapi bagaimana jika di penjara-pun ia masih bisa cengèngèsan karena tidak hanya ringannya hukuman tetapi juga bermacam fasilitas dalam penjara yang bisa ‘diusahakan’ itu? Bahkan saat keluar dari penjara-pun ia masih ‘dimuliakan’ sebagai ‘penyintas’ dan diangkat sebagai penceramah soal anti-korupsi! Jika ‘mainan’-nya seperti ini, akan berhasilkah rute hasrat vs hasrat ini? Belum kita bicara soal yudikatifnya, legislatifnya, media, masyarakat sipilnya. Yang jika ditelisik perlahan-lahan maka kita akan banyak menemui bahwa ranah hasrat vs hasrat ini sedang menghadapi proses pembusukan yang sungguh tidak kecil. Apa pilihan lain selain hasrat vs hasrat ini? Bukankah rute hasrat vs hasrat ini menjadi lebih berkembang karena berkembangnya ‘negara modern’ dalam sejarahnya? Bahkan menjadi andalan utama supaya hidup bersama tidak jatuh seperti digambarkan oleh Hobbes sebagai ‘state of nature’ itu? Dan jika itu terjadi maka ‘yang kuat akan menang’. Siapa yang lebih kuat? Dalam situasi ‘state of nature’ yang digambarkan oleh Thomas Hobbes maka bisa kita bayangkan pertama-tama yang kuat bukanlah pengetahuan yang banyak diklaim sebagai kekuatan dominan di era revolusi informasi ini. Rasanya kok tidak. Tetapi kembali ke-‘urutan’ perkembangannya seperti digambarkan oleh Alvin Toffler: kekuatan kekerasan, kekuatan uang, dan baru kekuatan pengetahuan. Senjata laras panjang-lah yang akan pertama-tama menyalak keras dan terhayati sebagai paling menakutkan. *** (27-08-2021)

Korupsi, Korupsi, Korupsi (1)