www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-08-2021

Somewhere Street adalah satu program TV tayangan dari NHK Jepang. Dalam salah satu episode kru NHK itu menyambangi kota Munich, Jerman. Nampaknya tayang pertama episode itu sekitar 4 tahun lalu, jadi belum pandemi. Di hampir pertengahan tayang yang berdurasi 15 menit itu, sampailah di sebuah pasar dengan halaman luasnya, dan di bawah pohon-pohon berderet meja dan kursi penuh pengunjung. Pagi hari, dan semua sedang minum-minum bir, rata-rata dalam ukuran gelas besar. Sambil menikmati makanan kecil. ‘Presenter’ yang tidak pernah nampak di layar kaca itu menyapa orang-orang yang duduk bersama sambil ngobrol gayeng-heboh. Wajah-wajah ceria nampak dalam tayangan. Nampaknya dalam pikiran si-presenter orang-orang semeja itu adalah teman lama yang sudah akrab sebelumnya. Ternyata tidak! “Apakah anda para sahabat?” tanya si-presenter. Dijawab dengan tegas, ya kami sahabat sejak duduk bersama! Rupanya belum saling kenal mereka itu sampai dengan saat duduk bersama, dan minum bir bersama. Bir menjadi ‘media’ yang membuat mereka menjadi cepat akrab. Tetapi bagaimana jika tidak ada bahasa?

Bagi manusia, bahasa adalah rumah baginya, paling tidak menurut Heidegger. Dalam bahasa juga manusia ‘menggali’ keberakarannya. Lihat misalnya penelitian Robert Levy tentang tingginya tingkat bunuh diri di Haiti yang ditelitinya di tahun 1960-an itu. Levy kemudian mengintrodusir istilah hipokognisi. Ketika tidak adanya kata-kata yang menggambarkan rasa pedih, rasa bersalah saat seseorang kehilangan sesuatu yang begitu berharga, menurut Levy itu juga mendorong tingginya tingkat bunuh diri di sana waktu itu. Banyaknya serapan bahasa asing juga indikasi bahwa dalam semesta yang begitu luas itu, bermacam kata dalam bahasa akan membantu kita dalam keberakaran, bahkan jika itu harus ‘meminjam’ dari bahasa asing sekalipun. Bahkan kalau perlu ciptakan kata baru untuk menjelaskan suatu maksud.

Lihat misalnya kegundahan seorang Eep Saefulloh, apakah ada kata yang bisa mewakili ‘seseorang atau sekelompok orang yang punya keyakinan teguh akan kebenaran yang ia atau mereka perjuangkan serta pandai menjaganya lantaran menolak menjadi pecundang’? Melihat sepak terjang seorang Rendra, 12 tahun lalu Eep mengusulkan bagaimana jika itu ‘diwakili’ dengan kata: rendra? Maka misalnya, Arief Budiman, Soe Hok Gie adiknya, Mangunwijaya, adalah sebagian yang mampu merendra di jaman old. Dan masih banyak nama lain yang sampai sekarang masih ada di sekitar kita, Rizal Ramli, Ariel Heryanto, Hariman Siregar, antara lainnya. Dan tentu masih banyak lagi yang tetap merendra meski tidak pernah ‘naik ke permukaan’. Apa yang mau disampaikan di sini adalah bagaimana peran penting bahasa bagi manusia. Bahkan ada yang mengatakan bahwa lambang dari bahasa itu, huruf, adalah ciptaan manusia paling indah.

Pada sebagian besarnya bahasa memang akan banyak terlibat pada obrolan ringan seperti dicontohkan pada orang-orang berkumpul di Munich seperti sudah disebut di atas. Dengan perantaraan bir dalam konteks cerita di atas. Bir tentu hanya satu contoh saja dari bermacam ‘media’ sehingga banyak orang bisa menggunakan bahasanya, bersama-sama manusia lainnya. Bersama-sama dengan manusia lain bertukar-bahasa dan tiba-tiba saja terbangun ‘rumah keakraban’ bersama. Maka bahkan bahasa dalam obrolan ngalor-ngidul, obrolan gayeng-heboh-pun akan membantu manusia semakin mendekat pada keberakaran pada kesehariannya, disadari atau tidak. Lihat misalnya, bagaimana jika pohon-pohon rindang di antara meja-bangku di Munich itu ditebang, atau bahkan digusur untuk didirikan pusat informasi, berapa orang pelanggan minum bir di tempat itu akan menjadi gundah?

Tetapi bagaimana jika ‘nuansa obrolan ringan gayeng-heboh' itu terbawa sampai di ruang rapat kantor? Tidak usahlah kuatir itu akan terjadi pada kebanyakan orang. Bagaimanapun juga ‘kelenturan otak manusia’ akan bisa menghayati perbedaan dari bermacam ranah, dan bagaimana ia harus berbahasa. Bagaimana ia harus masuk dalam ‘permainan bahasa’ yang sangat lekat dengan bermacam konteks itu. Dan bagaimana jika dalam konteks menegara ia sebagai si-pengelola negara misalnya, justru banyak ngibul-nya? Politik tentu disana-sini akan ada tipu-tipunya. ‘Kelenturan otak manusia’ akan sangat mampu menghayati itu. Tetapi bagaimana jika tipu-tipu itu sudah seakan tidak tahu diri lagi? Berjalan seakan sudah tanpa beban lagi? Sudah bukan menjadi bagian dari politik lagi, tetapi justru memberikan nuansa pekatnya? Menjadi yakin bahwa kebohongan yang diulang-ulang terus akan menjadi kebenaran tersendiri? Menjadi pengikut setianya salah satu pilar propagandanya Goebbels itu? Dan melupakan bahwa Goebbels mengatakan itu di tengah-tengah eksploitasi habis-habisan bahkan sudah sampai tingkat kegilaan dari yang disebut Amy Chua sebagai ‘an instinct to exclude’ itu? Mau ikut-ikutan juga mainken ‘an instinct to exclude’ itu supaya seiring dengan konteksnya Goebbels? Bandingkan dengan Angela Merkel yang disebut mampu mengajak bagian besar warganya dalam menghadapi pandemi secara on the right track, yang menurut sementara pengamat karena Merkel melakukan komunikasi dengan warganya dalam nuansa ‘clear messages’. Jauh dari propaganda a la Goebbels itu. Bahkan berkebalikan. Maka dalam konteks tulisan ini, penggunaan bahasa mana yang akan mendorong ‘keberakaran’ hidup bersama? Dan jika akar hidup bersama itu begitu dangkalnya, bukankah kerapuhan yang akan dituai? Pemimpin yang penuh ngibul itu, atau bahkan bisanya hanya ngibul itu akan sulit membayangkan konsekuensi dari merebaknya kerapuhan itu. Ia sebenarnya on the right track dalam menghancurkan hidup bersama. *** (30-08-2021)

Bir