www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

02-09-2021

Ketika terjadi bencana di Jepang sana, terberitakan bagaimana masyarakat terdampak bencana itu tertib antri dalam menerima bantuan. Apakah kita bisa tertib antri? Bisa! Bagi penggemar layanan kereta api, paling tidak yang saya alami bertahun lalu pada rute Jakarta-Semarang, akan merasakan perubahan pelayanan saat direkturnya Jonan. Bagaimana dengan menghapus ‘karcis berdiri’ –terutama kelas ekonomi dan bisnis, kemudian dimulailah tertib di gerbong KA. Termasuk salah satu yang paling sulit: larangan merokok di gerbong. Salah satu yang juga berubah adalah semakin tertibnya antrian saat mau membeli tiket. Siapa bilang kita tidak bisa tertib antri? Siapa bilang kita tidak bisa menjaga kebersihan di gerbong KA? Mengapa di ‘ranah KA’ itu kita bisa? Himbauan, ‘pendidikan’ melalui poster dan bahkan bicara langsung di gerbong tetap dilakukan, tetapi apakah itu yang membuat tertib bersama kemudian mewujud? Itu semua penting, tetapi nampaknya yang membuat itu berhasil adalah faktor Jonan dan terlebih adalah aparatusnya sampai ke bawah. Bagaimana Jonan mampu menggerakkan sehingga aparatus di bawah mau melaksanakan apa yang menjadi visinya. Dan terutama tentu sampai dengan yang berhadapan langsung dengan pelanggan. Dua hal yang perlu dicatat, konsekuennya aparat di bawah yang mau melaksanakan program Jonan dan juga ‘penegakan hukum’ bagi siapa saja yang melanggar. Dan ternyata bisa tuh: tertib dan bersih.

Bayangkan gerbong republik, dan bisakah berjalan dengan ‘tertib’ dan ‘bersih’? Tentu akan sangat berbeda antara republik dan per-kereta-apian. Tetapi dalam banyak hal sebenarnya akan kita temui persamaannya, salah satunya adalah soal ‘pembiasaan’. Pertanyaan selanjutnya adalah, siapa yang diuntungkan dengan adanya ‘kebiasaan’ baik di per-kereta-apian yang dibangun oleh Jonan itu? Pertama-tama jelas pelanggan juga. Kedua, PT KAI itu sendiri, entah akan berdampak pada pemasukan atau mungkin sahamnya akan naik. Atau akan lebih menarik para investor, misalnya. Ketiga, Jonan dan seluruh aparatnya, mereka ternyata bisa berprestasi. Tentu ada catatan-catatan tersendiri, lihat misalnya, dengan ditambahkan bermacam fasilitas dan hilangnya karcis berdiri, tarif kelas ekonomi-pun menjadi naik. Dari pengamatan sekilas penulis saat mengikuti kuliah di STF Driyarkara harus bolak-balik Semarang-Jakarta, dan pulang ke Semarang selalu naik kelas ekonomi –saat itu berangkat sekitar jam 9 malam dari Stasiun Senen, yang naik kelas ekonomi itupun menjadi berbeda dalam tampilan. Bagian ‘paling bawah’ menjadi tergusur? Masih perlu dilihat lebih jauh.

‘Pembiasaan’ dalam gerbong republik tentu akan lebih kompleks kait-kaitannya. Jelas lebih rumit. Tetapi pertanyaannya bisa kurang lebih sama, siapa akan diuntungkan jika berkembang kebiasaan baik? Atau sebaliknya, kebiasaan buruk? Dalam gerbong republik pertanyaan lebih lanjut adalah siapa pemegang ‘pakta dominasi’-nya? Atau tegasnya, siapa pemegang ‘pakta dominan primer’-nya? Kapitalisme-kah? Seperti yang dicontohkan oleh Cardoso itu? Jika ya, maka aparatus negara itupun sebenarnya adalah ‘cuma’ ‘pakta dominasi sekunder’, sebagai bayang-bayang olah dinamika dari relasi kekuatan produksi yang mana sebagai ‘pakta dominasi primer-nya: kapitalisme. Tetapi bagaimana jika 'pakta dominasi primer’-nya, sosialisme jelas juga tidak, ‘kapitalisme ori’ juga meragukan, bagaimana jika itu ‘kapitalisme kroni’ komplit dengan sanak saudaranya: kapitalisme pat-gu-li-pat, kong-ka-li-kong, perburuan rente, mafia ini, mafia itu, korupsi, maling, garong, rampok, ngunthet, nguntal, ngutil, nggaglak, ngemplang, jual-beli jabatan, mark-up?

Atau kita balik cara bacanya, dengan membaca bermacam penampakan bisakah kita melihat apa atau siapa sebenarnya yang dominan dalam ‘pakta dominasi primer’ itu? Mari kita mulai dari judul tulisan ini, bagaimana ‘kehormatan’ menampakkan diri pada kita? Ataukah ketika kita bicara ‘kehormatan’ malah justru yang paling mengena adalah bicara soal ‘gila hormat’? Jika itu yang terjadi sungguh menyedihkan. Menyedihkan karena kalau kita memakai gambaran Platon dalam Alegori Kereta Perang-nya, katakanlah dengan kereta itu kita sedang berusaha menuju ke ‘kebaikan dewa-dewa’ yang dalam hal ini adalah ‘cita-cita Proklamasi’, satu faktor pentingnya terasa pincang: si-kuda putih. Dimana dalam si-kuda putih itulah ‘keberanian’, ‘kehormatan’ akan bersemayam.

Sungguh menyedihkan bahkan untuk bicara soal kehormatan saja kita bisa menjadi begitu gagapnya. Gagap bukan karena definisi dalam kamus tidak ada, tetapi karena dalam ‘dunia nyata’ menjadi semakin sulit ditemukan lagi. Bayangkan bagaimana pada waktu tertentu begitu ditabuhnya keras-keras ketika para ‘kutu loncat’ itu benar-benar meloncat tanpa alasan yang sungguh bermartabat. Glorifikasi, atau sebenarnya ‘pembiasaan’ dalam menghayati laku yang jauh dari terhormat itu sebagai hal biasa-biasa saja. Atau khalayak diajak ikut menghayati bahwa menjilat itu adalah laku terhormat! Atau bertubi-tubinya khalayak diyakinkan bahwa tidak sesuainya kata dan tindakan itu tidaklah ada hubungannya sama sekali dengan sebuah kehormatan. Yang pada titik tertentu menghadirkan juga kejengkelan khalayak yang nampak pada cepat-akrab dan setujunya dengan gelar ‘king of lips service’ itu.

Ketika terberitakan tertibnya warga Jepang tertib-antri dalam menerima bantuan pasca bencana, kita bisa ikut memuji-muji. Bahkan ikut bangga juga ketika melihat berita di AS sono dalam rentang waktu yang tidak lama, tidak-tertib-berebut bantuan bahkan ada aksi penjarahan, juga pasca bencana saat itu. Bangga menjadi sesama bangsa Asia. Dua peristiwa di luar negeri itu seakan juga memberikan pelajaran apa itu menjadi terhormat. Bagi warga terdampak bencana, tertib saat menerima bantuan adalah juga soal menjaga kehormatan. Dari pihak negara yang menyalurkan bantuan, membuat warga menjadi tertib dan nyaman saat menerima bantuan adalah juga soal menjaga kehormatan, menjaga martabat, baik dari sisi pemberi bantuan maupun penerimanya.

Lalu bagaimana jika ada petinggi yang berulang dan berulang sering memberikan bantuan, memberikan bingkisan pada warganya tetapi selalu pula yang terjadi adalah kerumunan tidak tertib? Kerumunan berebut bingkisan? Bahkan ada bingkisan untuk warganya yang diberikan dengan melemparnya melalui jendela mobil yang terus berjalan pelan itu? Dilempar sambil pecingas-pecingis pula. Bahkan yang terakhir, dilempar-lempar dan warga sampai mau masuk ke dalam got berlumpur itu demi bingkisan dari petingginya. Ketika A, A1, A2, A3, dan seterusnya itu menampakkan kemiripannya, maka apa yang sebenarnya terjadi? Jangan-jangan itu hanyalah penampakan dari yang terjadi dalam relasi-relasi kekuatan produksi yang lekat dengan aksi pat-gu-li-pat, kong-ka-li-kong, perburuan rente, mafia ini, mafia itu, korupsi, maling, garong, rampok, ngunthet, nguntal, ngutil, nggaglak, ngemplang, jual-beli jabatan, mark-up. Dinamika relasi-relasi kekuatan produksi (kekayaan) yang jelas tanpa kehormatan itu?

Maka pat-gu-li-pat, kong-ka-li-kong, perburuan rente, mafia ini, mafia itu, korupsi, maling, garong, rampok, ngunthet, nguntal, ngutil, nggaglak, ngemplang, jual-beli jabatan, mark-up sudah bukan lagi soal kerugian negara dalam bentuk uang, tetapi juga soal kehancuran nilai-nilai dalam hidup bersama. Hidup bersama yang sedang diracun[1] demi berkembangnya sebuah habitat yang 'kompatibel' terhadap laku pat-gu-li-pat, kong-ka-li-kong, perburuan rente, mafia ini, mafia itu, korupsi, maling, garong, rampok, ngunthet, nguntal, ngutil, nggaglak, ngemplang, jual-beli jabatan, mark-up. Jadi sudah soal ‘pembiasaan’. Kebiasaan hidup bersama yang maunya dijauhkan dari kehormatan itu. Si-kuda putih yang sedang dilumpuhkan. Jika sais ternyata juga hanya kacung belaka, apakah ‘kereta republik’ itu memang sedang menuju cita-cita Proklamasi? Jangan-jangan memang maunya supaya nyungsep ke bawah dan terhempas menjadi berkeping-keping. *** (02-09-2021)

 

[1] https://www.pergerakankebang

saan.com/817-Bangsa-Yang-Sedang-Diracun/

Negeri Tanpa Kehormatan?!

gallery/plato wings