www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

14-09-2021

Hampir sepuluh tahun lalu ketika van Persie mencetak gol ke gawang Arsenal dengan kostum MU, Arsene Wenger tidak bisa menyembunyikan kekagumannya akan gol indah tersebut. “Sayang ia salah kostum saja,” katanya lebih lanjut. Memang cukup lama van Pesie menjadi andalan Arsenal, dan kemudian pindah ke MU. Tetapi bagi Kang Marhaen ia hampir bisa dikatakan tidak pernah salah kostum. Selalu saja ia akan memakai kostum yang serba ‘kecil-kecil’. Tetapi bagi kaum ‘marhaenis’ ia punya potensi untuk ‘salah kostum’ di sebagian orangnya. Bagi kaum ‘marhaenis’ kostum yang dipakai semestinya adalah ‘kostum ro-din-da’, jika memakai istilah bapaknya Kang Marhaen itu. Kostum romantika-dinamika-dialektika. Keberpihakan pada yang ‘serba kecil-kecil’ itu semestinya tidak lepas dari ‘ro-din-da’ terkait dengan situasi obyektif yang berkembang.

Apa esensi dari ro-din-da itu? Selain sebagai ‘kostum’-nya perjuangan, ia adalah untuk melatih diri. Latihan, latihan, dan latihan. Latihan untuk apa? Mengenal dan menggembleng apa yang sebenarnya ada dalam kendali, dan yang tidak. Ro-din-da adalah gemblengan untuk selalu berdaulat di tengah-tengah segala gejolak situasi obyektif yang selalu berkembang. Kadang-kadang ‘marhaenis salah kostum’ itu sulit dibedakan dengan yang berkostum beneran karena ‘yang salah kostum’ itu sukanya mainken romantika saja, satu dari tiga aspek ro-din-da itu. Sulit dibedakan karena romatika adalah merupakan ‘syarat mutlak’ meski belumlah mencukupi. Dinamika dan dialektika-lah yang merupakan syarat ‘yang mencukupi’ dari ‘ro-din-da’ itu. Kalau sudah teriak pro-rakyat, pro-rakyat itu seakan sudah sangat ‘ideologis’ gitu. Kalau sudah pasang baliho ‘kepakan sayap kebhinekaan’ itu rasanya sudah ‘ideologis’ banget. Kalau sudah buat makamnya Kang Marhaen itu rasanya sudah memperjuangkan habis-habisan nasib Kang Marhaen. Kalau sudah nyekar ke cungkupnya bapaknya Kang Marhaen itu, rasanya sudah jadi ‘marhaenis sejati’. Padahal jika ia pejabat publik, putusan politik komplit dengan eksekusinyalah yang semestinya harus dilihat, dan juga kalau mau ditambah, perilakunya, bukan jargon-jargon kosong itu. Bukan aksi nyekar sini nyekar situ. Jargon menjadi kosong karena berhenti pada romantika doang, sedang dinamika dan dialektikanya justru lebih condong pada dinamika dan dialektikanya si-modal besar, dan sayangnya lagi: lepas dari situasi obyektif Kang Marhaen.

Yang model begini –‘marhaenis salah kostum’, biasanya di bawah ‘kostum yang salah’ masih memakai ‘seragam dalam’. Biar sejenisnya bisa saling mengenali. Kayak Mario Balotelli setelah membuat gol buka kaos dan di kaos dalamnya bertuliskan, why always me itu. Tetapi pada ‘marhaenis salah kostum’ itu tulisan dalam ‘seragam dalam’-nya adalah: kacung, di bagian depannya. Di bagian belakang tertulis semboyan: sekali kacung tetap kacung! Marhaeeen ...!! Jayaaaa ...!!. Pecas ndahé, dab. *** (14-09-2021)

Marhaenis Salah Kostum