www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

27-09-2021

Serial Elementary, dibintangi oleh Jonny Lee Miller dan Lucy Liu, baru saja selesai komplit tayang ulangnya di saluran Fox. Serial ini sendiri tayang pertama kalinya di tahun 2012 dan terakhir 2019 lalu. Ada beberapa yang menarik dalam episode tertentunya. Salah satu episode menceritakan bagaimana sebuah ‘penelitian’ secara on line untuk mencari psikopat-psikopat yang ‘beredar’ di tengah-tengah masyarakat. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang cenderung ‘ekstrem’, dan dari jawaban-jawaban yang masuk itulah identifikasi soal psikopat bisa dijalankan. Sayangnya penelitian itu ‘bocor’ ke tangan pihak ketiga yang kemudian secara licik menggunakan orang-orang yang sudah teridentifikasi mempunyai potensi psikopat itu untuk kepentingan mereka. Namanya saja tontonan, pengembangan cerita mesti juga dibuat semenarik mungkin. Di dunia nyata mungkin bisa lebih sederhana, mengapa harus dibuat cerita penelitian on line jika ‘mencuri’ data dari rekam medik misalnya, sudah bisa diidentifikasi orang-orang yang potensial psikopat itu? Lebih sederhana ceritanya, tetapi tentu kurang menarik sebagai tontonan. Di episode lain, masih sekitar orang-orang psikopat itu, diceritakan bagaimana dengan obat-obat tertentu maka orang dengan potensi psikopat akan lebih mudah untuk disugesti, untuk dipengaruhi terhadap sesuatu hal. Atau dipengaruhi supaya melakukan sesuatu hal, misalnya. Dan ujungnya, bahkan kemudian dengan tanpa rasa bersalah sedikitpun akan melakukan hal tersebut dengan ringan-ringan saja. Sebuah cerita menarik, dan kita tahu sebenarnya soal cuci-otak itu sudah berlangsung lama di sekitar kita. Mungkin di nun jauh sana teknik-tekniknya sudah berkembang lebih maju. Tidak hanya di film saja.

Menanggapi desakan itu, Yasonna hanya menjawab santai. Ia berujar dirinya saat ini masih tenang saja. "Siapa? Kita ini anteng-anteng saja," ujar Yasonna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (21/9/2021).[1] Demikian terberitakan salah satu tanggapan Menkumham terkait dengan kebakaran Lapas di Tangerang, sehari sebelumnya. Lihat juga baju yang dipakai Yasonna saat meninjau lapas yang terbakar itu, bikin neg saja. Apakah politisi itu tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya meninggal terbakar hidup-hidup dan bahkan tidak bisa lari karena terkunci dalam sel? Puluhan nyawa lagi. Mengerikan. Entah konteks jawaban itu untuk pertanyaan apa, tetapi dari yang keluar melalui mulut orang itu, politisi itu, rasanya juga bikin neg saja. Bikin mual perut. Muak! Apakah politisi yang seperti ini adalah salah satu contoh telanjang dari ‘politisi dengan gangguan jiwa’?

Dengan memakai Alegori Kereta Perang-nya Platon kita bisa membayangkan ‘jiwa’ seperti apa yang semestinya kita rawat itu. Jiwa yang mempunyai nalar, keberanian, dan hasrat. Penggambaran melekat pada sebuah ‘kereta perang’ itu bisa kita hayati juga bahwa ‘jiwa’ pada dasarnya adalah dinamis, selalu bergerak. Semestinya gerak ‘kereta perang’ akan diarahkan pada ‘kebaikan para dewa’, katakanlah naik ke atas. Tetapi karakter si-kuda hitam adalah semau-maunya dan sayangnya, cenderungnya meluncur ke bawah saja. Kuda hitam menggambarkan segala hasrat ‘perut ke bawah’, terutama hasrat akan uang, akan kekayaan. Kuda putih menggambarkan keberanian, dan cenderung lebih ‘manut’ pada sais. Dan sebenarnya lebih mudah untuk di ajak ‘naik ke atas’. Sais menggambarkan nalar, rasio. Sayap di kanan-kiri kereta menggambarkan eros. Dari gejolak dahsyat si-kuda hitam maka bisa dikatakan kereta supaya bisa ‘naik ke atas’ akan selalu dalam tarikan ke bawah. Jiwa yang bergerak itu seakan selalu dalam situasi antara keinginan untuk ‘naik ke atas’ dan ‘terjun ke bawah’. Jiwa yang terganggu dalam ranah polis adalah ketika ia tidak sadar akan situasi tersebut. Atau buta karena sihir si-kuda hitam.

Maka dalam ‘pendidikan’ Platon yang ujungnya adalah pada kebaikan polis, materi ‘dialektika’, ilmu tentang debat, diberikan pada akhir pendidikan. Bahkan bisa diberikan pada usia setelah 30 tahun. Supaya berdebat tidak hanya untuk berdebat saja, tetapi bisa diarahkan untuk mendekati kebenaran. Debat yang tidak hanya berhenti pada debat itulah salah satu faktor penting dalam ‘merawat jiwa’ hidup bersama. Atau kalau meminjam istilah Driyarkara, menegara. Menegara ini akan tertatih-tatih jika para politisinya banyak yang mengalami ‘gangguan kejiwaan’ –dalam konteks bahasan di atas. Asal njeplak, asal mangap, lips service saja, bicara-bertindak tanpa empati, bicara-bertindak dengan manipulasi data, sok-sok-an, termasuk sok-kuasa, dan sekitar-sekitarnya itu semua ujungnya hanyalah akan merusak ‘jiwa hidup bersama’. Hanya akan merusak republik saja. Karena ketika ‘jiwa semakin rusak’ karena tidak terawat, apa-apa yang ada dalam kendali-pun akan semakin kabur. Maka semakin nampak sebenarnya siapa ‘politisi dengan gangguan jiwa’ itu. Dia yang tidak tahu batas. Dia yang tak tahu bahwa republik-pun punya batas hidupnya. *** (27-09-2021)

 

[1] https://www.suara.com/news/2021

/09/21/130430/didesak-mundur-usai-kebakaran-lapas-tangerang-menteri-yasonna-kita-anteng-anteng-saja

PDGW/Politisi Dengan Gangguan Jiwa

gallery/plato wings