www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

01-10-2021

Ketika Kasino bergaya logat Bali dan mengatakan ‘patung’, saya yang di Jawa Tengah-pun menjadi geli juga. Tidak ada secuilpun perasaan kemudian merendahkan atau apalah yang serba negatif itu. Melalui humor-humor kadang bermacam perbedaan itu bisa menelusup menjadi bagian hidup sehari-hari yang wajar-wajar saja. Entah ada di bagian otak mana tetapi hasrat akan patung, juga lukisan dan seni lainnya, rasa-rasanya sudah ada sejak adanya manusia. Mungkin penghayatan akan patung jaman dulu-dulu-dulu, bukanlah pertama-tama soal seni. Penghayatan mungkin lebih soal magis, mitis-nya. Dan kemudian berkembang juga menjadi sebuah karya seni. Atau juga secara fungsional, misal patung polisi dioperasionalkan di tepi jalan supaya pengguna lalu-lintas jadi lebih waspada. Macam-macam latar belakang mengapa manusia membuat patung. Macam-macam manusia menghayati adanya patung.

Lihat misalnya ‘efek samping’ dari gerakan Black Lives Matter beberapa waktu lalu itu. Salah satunya adalah ada gelombang untuk menyingkirkan patung tokoh-tokoh jaman doeloe yang terlibat intens dengan perbudakan dari tempat-tempat publik. Atau juga kolonialisme di Afrika sono doeloe. Atau ketika glasnot dan perestroika itu merebak dan USSR kemudian terpecah-pecah itu, bisa kita lihat bagaimana patung Lenin, patung Stalin dirobohkan. Waktu saya kecil di Muntilan, dan juga sampai sekarang di Semarang, ketika masuk gereja (katolik) sudah akrab dengan bermacam patung di kanan-kiri-depan-belakang. Sehingga sempat heran juga ketika masuk ke gereja Protestan, tidak ada patungnya. Mungkin karena salah satunya karena sola scriptura itu? Mungkin, dan biarlah begitu, masing-masing punya ‘aturan’-nya sendiri-sendiri. Tetapi apakah karena gereja banyak patungnya kemudian saya juga berarti ‘penyembah patung’? ‘Penyembah berhala’? Tidaklah. Penghayatan iman saya misalnya, tidak ditentukan oleh adanya patung-patung itu, meski juga dengan adanya patung-patung itu bisa semakin mendekatkan apa yang saya imani itu. Jadi ya, memang lain-lain.

Sekitar 150 tahun setelah kematian Machiavelli, di Palermo berdiri sebuah taman yang dikenal sekarang sebagai Fontana Pretoria, atau The Fountain of Shame, yang didominasi adanya sekitar 70 patung pria dan wanita, telanjang semua. Mengapa dipajang patung-patung seperti itu mungkin tour guide bisa menjelaskan lebih panjang lebar. Atau mengapa ‘singgasana’ penobatan Jean Bédel Bokassa itu sandaran kursinya berbentuk rajawali dengan rentangan gagah sayapnya?[1] Mengapa tidak hanya ‘singgasana’-nya yang berbentuk rajawali, tetapi istananya sekalian? Mungkin saat itu Bokassa belum ‘kepikiran’ saja. Mungkin. *** (01-20-2021)

 

[1] https://www.pergerakanke

bangsaan.com/756-Abbas-Attar/

Patung