www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

02-10-2021

‘Menunda’ dalam konteks fenomenologis, diberi ‘tanda kurung’ dulu, di-suspend dulu. Tidak hanya masa lalu, tetapi juga bermacam prasangka, pra-anggapan ditunda dulu. Terlebih ketika ‘kematian republik’ semakin membayang atau mendekat. Dengan utang yang menggunung, keterbelahan dan semakin pendeknya sumbu, dan juga geopolitik sekitar yang semakin memanas, tidaklah meleset amat jika ‘kematian republik’ dibayangkan semakin mendekat. Belum lagi dihadapkan pada potensi berulangnya wabah dan soal kedaruratan iklam itu, dengan segala konsekuensinya. Ditunda bukan berarti dihapus. Tetapi memberikan ‘ruang lebih’ seakan kita berdiri sebagai ‘pemula’ dan mulai melihat masalah-masalah dari berbagai sudut, aspek, dan bermacam lagi. Kalau toh ada indikasi kuat soal bablasan jaman old, atau polah-tingkah anak-anak dari jaman old-old, atau bermacam lagi dari jaman old-old-old, ditunda dulu. Sekali lagi, tidak dihapus.

‘Pemula’ dalam hal melihat masalah apa? ‘Tuntunan’-nya bisa kita lihat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu masalah dalam (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pancasila menjadi hebat, atau bahkan sakti jika ke-empat hal tersebut di atas benar-benar, paling tidak, ada di jalan yang memang mak-nyus. Bukan hanya salah satunya, atau dua diantaranya, tetapi ke-empat-empatnya sebagai satu keseluruhan. Mengapa? Karena Pancasila menjadi dasar dari bagaimana ke-empat hal di atas dioperasionalkan, dijalankan upaya pencapaiannya.

Jika di atas disinggung soal ‘kematian republik’ itu berarti juga soal kematian republik kita hayati sebagai satu kemungkinan. Bukan terus dengan ‘menghibur diri’, di sana juga repot, di sana juga orang berbondomg-bondong keluar sebagai imigran, kita lebih anu, dan seterusnya. Memang ketika ‘kematian republik’ dihayati sebagai kemungkinan maka bisa-bisa menyelusup rasa cemas. Wajar sebenarnya kecemasan itu. Cemas tetapi bukannya takut, apalagi panik. Cemas yang pada dasarnya akan menuntut sebuah keputusan. Keputusan (penting) untuk apa? Untuk mengantisipasi ‘kematian republik’ itu. Tetapi dari Hannah Arendt kita bisa belajar bahwa adanya kita-kita-kita ini  yang sedang menyongsong ‘kematian republik’ itu, sebenarnya ada soal dilahirkan kembali. Memulai lagi. Katakanlah dalam bayang-bayang mortalitas, ada natalitas yang bisa ‘sangat produktif’. Itulah sebenarnya hal yang sangat diperlukan ketika masa lalu yang ‘ditunda’ itu kemudian ‘dibuka’ lagi. Dibuka perlahan di tengah-tengah latar-belakang untuk memulai lagi. Di banyak komunitas kita bisa melihat keberhasilan dari ‘sikap dasar’ ini.

Memulai lagi untuk apa? Untuk bersama-sama mengarahkan kereta naik ke atas, jika kita memakai Alegori Kereta Perang-nya Platon. Dan itulah saat rasio yang memimpin, sikap prudence, bukan ugal-ugalan sok-sok-an gegayaan. Hanya dengan itu pula masa lalu yang juga menggendong bermacam ‘kuasa’ itu bisa ‘dijinakkan’, dipaksa juga untuk bersikap prudence, tidak menjadi ugal-ugalan sok-sok-an gegayaan juga. Demi anak-anak kita yang sangat kita sayangi itu. (Dan jelas tidak dengan jalan menjilat!) *** (02-10-2021)

'Menunda' Masa Lalu