www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

16-10-2021

Dalam episode terakhir-akhir musim pamungkasan, serial Elementary menceritakan bagaimana pasangan Sherlock Holmes dan Joan Watson itu berhadapan dengan Odin, katakanlah ‘penguasa’ dunia digital. Odin tidak hanya mampu meraup informasi sampai ke ruang-ruang privat digital, tetapi juga piawai memainkannya. Mungkin jika Alvin Toffler masih hidup ia akan menambahkan tidak hanya birokrasi yang mempunyai potensi sebagai ‘partai siluman’[1] tetapi juga orang-orang seperti Odin di atas. Dalam akhir serial itu, Sherlock terpaksa melibatkan ayahnya dan sayangnya justru berujung fatal terhadap ayahnya itu. Holmes Sr. akhirnya dikhianati rekan kepercayaannya dan bahkan dibunuh oleh rekan lamanya itu. Rekan lama yang justru kemudian berpihak pada kekuatan Odin, kekuatan di balik dunia digital. Bagaimana tidak menakutkan kekuatan di belakang Odin itu, bahkan ia-pun bisa mengubah hasil pemilu!

Remember the first rule of politics. The ballots don’t make the results, the counters make the results. The counters. Keep counting,” demikian salah satu dialog dalam film Gangs of New York (2002). Cerita di film tersebut adalah di sekitar tahun 1860-an, tahun-tahun dimana Undang-Undang Agraria disahkan di nusantara oleh Kerajaan Belanda saat itu. Dan digambarkan oleh si Bung dengan gaya khas-nya, UU Agraria itu sebagai tonggak dari ‘politik pintu terbuka’, dimana modal-modal partikelir diperbolehkan masuk nusantara untuk mengeruk habis-habisan kekayaan yang dikandung. Situasi bisa diraba juga dari tahun-tahun (di sekitar itu) dimana Gereja Katolik banyak ditinggalkan umatnya karena dianggap tidak mampu bersuara soal kondisi sosial yang berkembang. Makanya di tahun-tahun itulah juga muncul Ajaran Sosial Gereja yang pertama, ensiklik Rerum Novarum. Atau juga lihat munculnya gerakan sosialisme yang sering disebut dengan sosialisme utopis itu. Penggambaran di film Gangs of New York itu menurut beberapa pihak tidak jauh-jauh amat dari kondisi saat itu di AS sono. Mungkinkah kerasnya pertarungan antar gang dalam pemilihan itu dipicu juga oleh spoils system yang diintrodusir oleh Andrew Jackson kurang lebih 30 tahun sebelumnya? Dalam film hal tersebut memang tidak dinampakkan. Tetapi kita boleh berandai-andai, bukan saja karena sifat ‘berangasan’ gang-gang tersebut kemudian benturannya menjadi begitu keras, tetapi juga didorong oleh kemungkinan untuk masuk ke kekuasaan tanpa harus bicara soal kompetensi dan sekitarnya itu, misalnya. Seperti sejarah mencatat akhirnya spoils system itu dihentikan beberapa tahun setelah setting film Gangs of New York itu. Dihentikan karena inefisiensinya, dan merebaknya korupsi. Salah satunya karena inkompetensinya itu.

Apa yang ditengarai si-Bung sebagai ‘politik pintu terbuka’ itu pada dasarnya memang saat itu dunia sedang bergerak dalam apa yang sering disebut sebagai gelombang globalisasi pertama. Paling tidak di era modern ini. Globalisasi yang kemudian menjadi habitat idaman bagi kaum serakah. Yang bahkan untuk instropeksi saja diperlukan krisis hebat: perang. Perang yang membawa kematian di depan mata itu membuat keserakahan perlu dihayati secara baru: ada kesejahteraan umum yang perlu dicapai pula selain kesejahteraan individu-individu. Bagi Adam Smith sebetulnya kesejahteraan umum itu, the wealth of nations, dengan sendirinya akan tercapai jika kesejahteraan individu-individu tercapai. Tetapi kita bisa belajar dari sejarah pula bahwa kesejahteraan individu ketika meraksasa itu bisa bermatamorfosis pula menjadi kekuatan yang sangat besar. Kekuatan maha dahsyat, bahkan olahan uangnya bisa melebihi GDP negara kelas tertentu. Lihat juga misalnya pergerakan merger dari korporasi-korporasi di tahun-tahun akhir abad 19 dan awal abad 20. Joel Bakan memotret ini dengan baik di awal-awal buku The Corporation-nya (2003). Apa yang mau dikatakan di sini adalah setting film Gangs of New York itu bagaimanapun ada dalam, katakanlah, dekade keserakahan, meminjam judul buku Stiglitz.

Bagaimana jika film Gangs of New York itu dibuat versi dengan setting peristiwa di abad 21 ini? Kutipan dialog di atas mungkin akan muncul lagi, tetapi sangat mungkin dengan minim darah karena yang dimainken adalah dunia digital. Karena meski nampak ‘lebih beradab’ tampilannya, esensi yang terjadi sekarang ini banyak kemiripan dengan dengan bagian akhir abad 19 itu. Bahkan ‘dekade keserakahan’-nyapun bisa berlangsung lebih luas dan dalam. Dan berkembang pula bermacam ‘rute keserakahan’-nya. Macam-macam. Maka gang yang merasa mampu otak-atik digital, yang merasa memegang kunci rahasia ‘kecurangan yang mak-nyus’ itu: terstruktur, sistematis, masif, seakan mempunyai kekuatan setara bahkan bisa-bisa dengan penuh percaya diri merasa di atas partai politik. Itulah juga mengapa gang seperti itu bisa dihayati sebagai partai siluman, invisible party. Tak jauh dari ‘partai birokrasi’, sama-sama mengandalkan, katakanlah, jaringan.

Tetapi dunia digital-pun dalam membangun opini masihlah perlu bahan material di dunia nyata. Demi efektifitas pergerakannya. Itulah kerjaan dari partai siluman ke-3, ‘partai’ tlusap-tlusup telik sandi. *** (16-10-2021)

 

[1] “No matter how many parties run against one another in elections, and no matter who gets the most votes, a single party always wins. It is the Invisible Party of bureaucracy.” (Alvin Toffler, Power Shift, hlm. 257)

Partai Siluman