www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-11-2021

Akun Ariel Heryanto mengunggah ulang cuitan lama, 3 tahun lalu, dan isinya menggelitik.[1] Mungkin saat itu Ariel habis dolan ke Vietnam atau apalah itu, yang pasti foto dan ‘keterangan’ Ariel sungguh menggelitik. “Pada saatnya, yang pernah keramat atau angker akan jadi benda antik atau suvenir turis. Ini contoh dari Viet Nam,” demikian ‘keterangan’ Ariel terhadap foto ikutannya yang menampilkan bagaimana barang-barang propaganda masa lalu dijual sebagai layaknya barang ‘klangenan’ saja. Seperti misalnya ada yang senang dengan iklan-iklan atau poster-poster jadoel. Padahal pada masanya, barang-barang propaganda itu bisa-bisa sungguh keramat atau angker seperti ditulis oleh Ariel.

Jaman Bergerak, demikian jika memakai penggalan judul bukunya Takashi Shirashi untuk mulai membayangkan apa yang terjadi di Vietnam seperti disinggung Ariel di atas. Hanya saja yang ‘ter-radikalisasi’ adalah apa yang diungkap oleh Daniel Bell dalam The End of Ideology (Berakhirnya Ideologi), terbit pertamakali sekitar tahun 1960-an. Tahun-tahun ketika para pengusung paradigma neoliberalisme sudah masuk fase ‘kegerahan’ yang semakin akut karena merasa kaki-kakinya tidak bisa bebas bergerak oleh kerangkeng paradigma negara kesejahteraan (welfare state) pasca Perang Dunia II itu. Pada bagian akhir dari The End of Ideology, Daniel Bell menyinggung bahwa “the driving force of the old ideologies were social equality, and, in the largest sense, freedom. The impulsions of the new ideologies are economic development and national power.[2]

Apa yang diungkap oleh Bell, kurang lebih 20 tahun kemudian mendapatkan contoh ‘gigantis’-nya, yaitu ketika Deng Xiao Ping naik ke puncak kekuasaan di China. Seakan ketua Deng sedang bersiap diri untuk mengajak rakyat China naik ke atas gelombang neoliberalisme yang memang saat itu sudah kuat pasang kuda-kudanya. ‘Gigantis’ karena melibatkan hampir 1 milyar manusia  -atau hampir seperlima populasi dunia, dalam batas-batas negaranya saat itu. Pertaruhan yang jelas tidak kecil. Maka tak mengherankan Deng Xiao Ping kemudian menggambarkan sebagai menyeberang sungai dengan sungguh hati-hati saat menginjak batu-batu di dasar sungai. Batu-batu yang penuh kelicinan. Jika memakai Alegori Kereta Perang-nya Platon, Deng Xiao Ping katakanlah melonggarkan tali kekang kendali si-kuda hitam. Kuda hitam yang dalam Alegori menggambarkan segala hasrat perut ke bawah, terutama hasrat akan uang. Maka tak mengherankan pula Deng Xiao Ping menegaskan bahwa menjadi kaya itu mulia. Tak beda jauh ketika di penghujung Abad Pertengahan di Eropa sana soal ‘kepentingan diri’ yang perlahan mulai diletakkan pada ‘tempat sewajar’-nya, ada sehari-hari di samping hidup manusia. Tak perlu ‘dikutuk’ lagi.

Tetapi sejarah juga menunjukkan, ketika hasrat akan uang, ketika ‘kepentingan diri’ menjadi yang utama, ketimpangan, eksploitasi dan sekitarnya kemudian merebak bisa-bisa tak terkendali. Dan sejarah juga mencatat bagaimana eksploitasi manusia atas manusia itu mendapat perlawanan, bahkan kemudian sampai ditarik ke ujung perlawanan ekstremnya. Maka dapat kita lihat juga bagaimana eksploitasi manausia atas manusia itu di sana-sini mulai banyak ‘perbaikan’-nya, mulai berkurang ‘kadar’-nya sedikit demi sedikit, apapun rute yang terambil. Hanya saja akhir-akhir ini semakin disadari bersama dampak dari eksploitasi manusia atas alam. Kalau kita kembali ke ungkapan Daniel Bell di atas, maka ‘peran’ ‘kekuatan nasional’ (national power) adalah sungguh vital karena ia bisa menjadi ‘rekan seperjuangan’ dari ‘sais’ dalam mengendalikan si-kuda hitam, jika sekali lagi kita memakai Alegori Kereta Perang-nya Platon. ‘Kekuatan nasional’ yang tergambarkan pada si-kuda putih.

Tetapi ‘kekuatan nasional’ sebenarnya tidak hanya sebagai ‘rekan seperjuangan’ dari si sais, ia juga adalah semacam ‘kambing hitam’ ketika ‘tiru-meniru’ itu perlahan berkembang menjadi rivalitas seperti yang digambarkan Rene Girard dalan ‘teori segitiga hasrat’-nya. Maka dapat dilihat, meski disebut oleh Daniel Bell soal pentingnya ‘pertumbuhan ekonomi’ tetapi itu bukan berarti ‘keprimeran ekonomikal’ ada di pusat gravitasi, tetapi adalah ‘keprimeran politikal’. Keputusan-keputusan politiklah yang katakanlah menjadi dirigen dari ‘pertumbuhan ekonomi’ dan ‘kekuatan nasional’ itu. Politiklah yang sebenarnya ‘menjaga’ berkembangnya ‘pertumbuhan ekonomi’ dan berkembangnya ‘kekuatan nasional’ dapat seiring berjalan, dan tidak malah kemudian ‘kekuatan nasional’ itu digusur misalnya, oleh ‘kekuatan oligarki’.

Jika memakai pendapat dari Friedrich List, apa yang terjadi di China saat Deng naik ke puncak kekuasaan berikut penerus-penerusnya maka akan mendapatkan banyak penjelasannya. Berlawanan dengan paradigma ultra-minimal state yang diusung paham neoliberalisme, negara-bangsa dipandang List sebagai ‘aktor ekonomi’ juga. Dari sini saja kita sudah bisa meraba bagaimana pentingnya politik dalam upaya ‘perlawanannya’ terhadap dinamika relasi-relasi produksi di basis. Sangat-sangat tidak mudah, dan kerentanan yang paling besar adalah potensi seperti sudah disebut di atas, ketika politik dibajak oleh kaum oligark itu. Ketika politik ada dalam genggaman kaum oligark (atau bahkan tiran) maka ‘kambing hitam’ berupa ‘kekuatan nasional’ itu akan sangat berkurang ‘khasiat’-nya. Maka tak heran pula akan dimunculkan kambing-kambing hitam lainnya, salah satunya adalah radikal-radikul itu. Lihat misalnya ketika isu kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat bisnis PCR dalam masa wabah ini merebak ke permukaan, mau bilang NKRI Harga Mati-pun sudah tidak ber-‘khasiat’ lagi. Mau bicara Aku Pancasila-pun hanya akan berujung pada umpatan: ndas-mu! *** (30-11-2021)

 

[1] https://twitter.com/ariel_heryanto

/status/1066133660418506752

[2] Daniel Bell, The End of Ideology,

 

'Oleh-oleh' Dari Ariel, 3 Tahun Lalu