02-12-2021
Sudah banyak kritik atau bahkan kemuakan ketika ada pejabat tinggi menyampaikan bingkisan atau kaos atau apalah itu pada rakyatnya dengan cara dilempar. Bahkan dari jendela mobil yang sedang berjalan pelan, atau saat berjalan pelan. Dilempar dan rakyat kemudian berebut. Yang dikritik bukannya terus mawas diri, tetapi cara-cara itu diulang dan diulang lagi. Seakan ia begitu menikmatinya. Bahkan bisa-bisa kemudian ‘dibalik’, pengkritiknya kemudian terus dilabeli sebagai pembenci.
Perdebatan antara natur (nature) dan nurtur (nurture) dalam perkembangan seorang manusia seakan mendapat ‘jembatan’-nya dalam ‘epigenetik’. Syahdan dalam satu wilayah di Belanda sana terjangkit kelaparan kronis akibat Perang Dunia II yang berkecamuk. Kelaparan kronis yang kemudian memunculkan bermacam penyakit. Dan berpuluh tahun kemudian ditemukan dalam ‘studi epidemologis’ ternyata banyak dari penyakit-penyakit itu diturunkan pada anak-anak yang dilahirkan saat atau beberapa saat setelah PD II berakhir. Maka studi tentang ‘epigenetik’-pun semakin berkembang. Ternyata faktor lingkungan tidak hanya mempengaruhi konstitusi tubuh dan kemudian membuat berpenyakitan saat itu, tetapi ternyata juga mempengaruhi genetik, dan akan diturunkan. Intensitas olah ‘nurtur’ itu tidak hanya akan berpengaruh pada satu generasi saja, tetapi bisa juga akan diturunkan pada generasi-generasi berikutnya.
Ketika seorang pejabat tinggi lempar-lempar bingkisan atau kaos ke rakyat dan rakyat kemudian berebut, ada yang kemudian berpendapat bahwa pejabat itu tidak akan lempar-lempar begitu saja jika rakyat tidak mau berebut atau mau diperlakukan demikian. Ada benarnya, tetapi jika begitu apa gunanya kita mempunyai pemerintah? Bayangkan kita di stadion bola yang penuh sesak dan kemudian satu orang lempar botol minuman, bukankah sangat mungkin yang lain akan ikut-ikutan? BuzzerRp, pollsterRp bekerja dengan prinsip yang tak jauh berbeda. Kata orang, bandwagon effect. ‘Khas’ manusia massa yang sedang meminggirkan kemampuan pikirnya.
Siapa bilang manusia Indonesia tidak bisa tertib? Lihat apa yang diperbuat Jonan ketika jadi direktur PT KAI, bisa tuh di ranah perkereta-apian tertib, dari yang sebelumnya banyak tidak tertibnya. Tentu bisa dirunut soal ‘nurtur’ yang dilakukan oleh Jonan dan jajarannya saat itu mengapa hal tertib bisa diwujudkan di ranah kereta api. Maka adalah sangat sah jika kita mempertanyakan mengapa lempar-lempar bingkisan, kaos itu tetap saja dilakukan, berulang dan berulang? Apakah terbatasnya imajinasi dari si-pejabat tinggi itu? Atau memang kualitas diri yang serba pas-pas-an? Atau dikit-dikit memang ada psikopatnya? Atau ini sebenarnya pangkalnya pada demen-nya ‘olah kuasa’? Olah kuasa yang sebenarnya berujung pada penguasaan. Penguasaan oleh siapa? Atau ada masalah hangat yang perlu dialih-isukan? Lebih baik kacung yang ‘dicuci’ daripada tuannya?
Kata Machiavelli, orang bisa saja berkuasa karena ‘nasib baik’. Tetapi sayangnya, Machiavelli tidak menyinggung ‘nasib buruk’ yang bisa menimpa rakyat. Tidak ada di planet ini ada satu komunitas yang pemimpinnya suka lempar-lempar bingkisan ke rakyat, komunitas itu kemudian terus ber-‘nasib baik’. Tidak ada. Nasib buruk-lah yang akan terus membayang rakyat kebanyakan. *** (02-12-2021)