www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

14-12-2021

Salah satu uji coba juga bisa dilihat di Pasar Induk Cipinang dan wilayah sekitarnya. Ada 538 sumur resapan yang tahun 2020 diinisiasi oleh Food Station, salah satu BUMD milik Pemprov DKI. Jika anda dulu berbecek-becek ketika masuk pasar induk Cipinang, sekarang sudah mulus dan bersih. Jika dulu ada hujan, pasar Cipinang banjir, sekarang anda gak akan ketemu lagi banjir di sana. Padahal, hujan dua hari gak berhenti. Pasar Cipinang telah menginisiasi membuat sumur resapan. Hasilnya? Sukses! Banjir lenyap. Dari mana dananya? Sumur resapan Pasar Cipinang menggunakan dana APD (Anggaran Penyertaan Modal Pemprov DKI). -Tony Rosyid[1]

***

Apakah Nietzsche benar dengan menandaskan bahwa will to power itu bisa lebih kuat dari will to survive? ‘Will to power’ dalam arti telanjangnya, dalam konteks ini? Apakah Thomas Hobbes juga benar bahwa ‘obsesi’ manusia akan kekuasaan itu bahkan akan dibawa sampai ajal hadir di depan mata? Dan berapa banyak lagi pendapat dapat diajukan untuk membahas soal power ini, soal pernak-pernik terkait dengan kekuasaan? Atau salahkah pendapat Mangunwijaya bahwa kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari bagaimana ia mengelola kekuasaan? Atau ada yang bilang, beri dia kekuasaan maka akan nampak kualitas dirinya. Bahkan soal keadilan-pun bisa dikaitkan dengan kekuasaan. Keadilan adalah soal siapa yang lebih kuat, demikian salah satu ungkapan dari Thrasymachus lebih 2000 tahun lalu.

Jika kita mau belajar bahkan soal asal-muasal Big Bang, maukah kita juga belajar bermacam hal, paling tidak katakanlah kurang lebih 10 tahun terakhir? Bagaimana pernak-pernik kuasa dikelola 10 tahun terakhir ini? Bermacam variabel ikut terlibat dalam kelola kuasa, macam-macam, tetapi dari mana kita mulai? Dari bermacam ‘penampakan’-lah sebenarnya kita bisa mulai. Bermacam penampakan yang kita alami bersama. Tetapi bukankah ada ribuan penampakan di depan kita? Dari Marx kita bisa belajar, mulailah dengan penampakan-penampakan yang muncul sebagai akibat-akibat dari relasi-relasi kekuatan produksi. Penampakan yang muncul dari ungkapan ‘bulan depan Krakatau Steel akan bangkrut’. Penampakan akan naik-turunnya biaya PCR yang semau-maunya itu. Penampakan impor beras saat petani panen. Penampakan pembiayaan kereta api cepat yang berbeda dari janji-janji semula. Penampakan dari soal Omnibus Law itu, UU Ciptaker, komplit dengan ‘drama’ keputusan MK. Penampakan dari pernyataan menteri Kehutanan soal pembabatan hutan. Soal food estate. Segala macam soal utang ugal-ugalan itu. Bahkan penampakan isu soal penjualan aset ibukota di Jakarta demi pembiayaan pembangunan ibukota baru. Juga soal tatib yang diubah untuk ‘menyelaraskan’ dengan keputusan yang sudah dibuat, terkait dengan ibu kota baru. Dan masih banyak lagi.

Tetapi ada baiknya kita juga memberikan perhatian lebih terkait dengan yang pernah diungkap oleh David C. Korten : “We humans live by stories. The power of the right-wing comes not from their number, which are relatively small, but from ability to control the stories by which we answer three basic questions. How do we create prosperity? How do we achieve security? And how do we find meaning? By monopolizing the stories by which we answer these questions, they define and control the political debate to advance an imperial agenda.”[2] Maka memang tidak mudah ‘menjalankan’ saran Marx seperti disebut di atas. Bahkan untuk ‘berjalan di atas kaki’ sekalipun. Bahkan misalnya, sudah jelas bermacam jejak digital, berita media cetak menunjukkan fakta X untuk menunjukkan bahwa ‘fakta’ Y yang di-klaim itu tidak benar, mereka bisa-bisanya kemudian mengatakan: itu ‘fakta alternatif[3], misalnya. Tanpa beban. Mungkinkah frase ‘melawan lupa’ itu harus juga dibarengi dengan ‘melawan dusta’? Atau kalau meminjam ungkapan Vaclav Havel: living in truth, apakah ini menemui relevansinya lagi di tengah-tengah seliweran penuh sesaknya ‘fakta-fakta alternatif’ itu? Atau bahkan di tengah gejolak ‘post-truth’ itu?

Jika kita kembali pada kutipan tulisan Tony Rosyid soal program sumur resapan DKI di atas, apa yang sebaiknya dilakukan? Yang bahkan jika tidak dikaitkan dengan upaya pengendalian banjirpun, soal sumur resapan tetaplah banyak manfaatnya. Maka kegilaan apa yang muncul ke permukaan ketika pihak-pihak tertentu mempermasalahkan soal program sumur resapan pemprov DKI seakan sebuah ‘ideologi terlarang’? Ada apa dengan ‘sumur resapan’ sehingga soal ‘sebangsa-setanah air’ itu dengan secara membabi-buta tiba-tiba serasa dipinggirkan lebih dahulu. Soal ‘bertahan-hidup’-nya sebagai satu bangsa seakan menjadi kalah penting dari soal kuasa? Mungkin ungkapan Havel lainnya bisa menjadi ‘jalan perlawanan’ yang perlu ditapak, soal bagaimana Havel menunjuk ‘the power of the powerless’. Jika kuasa buta anggota DPRD itu mempreteli anggaran pembuatan sumur resapan, maka itu bukan berarti akhir cerita program sumur resapan. Bukan akhir dari program sumur resapan bagi warga DKI. Sumberdaya yang ada di masyarakat jelas bisa untuk menggerakkan program yang tidak hanya akrab dengan semesta, tetapi juga mencerdaskan komunitas. Maka hanya ada satu kata: lawan! Lawan sebagai satu bangsa yang sedang peduli dengan nasibnya. Sekarang, dan juga bagi generasi yang akan datang. *** (14-12-2021)

 

[1] https://www.gelora.co/2021/12

/anggaran-sumur-resapan-dihabisi-dprd.html

[2] https://davidkorten.org/balle-renewing-the-american-experiment/

[3] lihat soal klaim kubu Trump terkait jumlah penonton pelantikan Trump (2017)

Serasa Bukan Sebangsa