www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

28-12-2021

Salah satu yang menarik dari bermacam film-film dokumenter adalah soal konduktor orkestra. Baru-baru ini TV DW, terkait dengan ulang tahun ke-70 nya, konduktor Kent Nagano diangkat sebagai topik. Perjalanan hidup dan kariernya. Dari musik kita bisa membayangkan bagaimana hal kemungkinan tidak terbatas itu hadir terolah dalam sebuah komposisi melalui manusia, penulis lagu misalnya. Dari tak terbatasnya interpretasi dari sebuah komposisi itu kemudian terolah hadir di depan penikmat melalui tangan konduktor. Bagi Kent Nagano, olah interpretasi dari suatu karya komposisi mestilah dibawa ke tingkat tertingginya. Tetapi Nagano juga menambahkan bahwa itu tetaplah harus bisa dinikmati oleh pendengarnya. Maka konduktor tidak hanya menyajikan interpretasi-maksimalnya terhadap sebuah komposisi, tetapi juga seakan ikut ‘merawat’ –bahkan katakanlah ikut bertanggung jawab, soal taste, soal rasa-merasa pendengar terhadap sebuah karya komposisi. Atau dalam menikmati sebuah orkestra-simfoni pada umumnya.

Kadang seorang pemimpin dibayangkan layaknya seorang dirigen, seorang konduktor. Tidak salah memang karena memang pembantu-pembantu yang diangkatnya itu mestilah ada dalam visi-misinya, tidak boleh semau-maunya -mestinya. Tetapi yang sering dilupakan adalah, ia –pemimpin, sebenarnya tidak hanya soal bagaimana ‘pemain orkestra’ pilihannya itu bisa memainkan sesuai visi-misinya yang ada dalam partitur-partitur di depannya, tetapi adalah juga soal rasa-merasa, soal taste hidup bersama yang dipimpinnya: khalayak kebanyakan. Yang bahkan sebenarnya itu memang ada dalam tanggung jawabnya pula.

Jika hidup bersama itu akan sangat lekat dengan bermacam tindakan-tindakan, maka memang seorang pemimpin sebagai ‘pemegang modal simbolik’ tertinggi akan sangat berpengaruh. Tidak mengherankan pula jika sebagai ‘pemegang modal simbolik’ ia tidak akan lepas pula dari ‘citra diri’ –entah terbangun secara ‘alamiah’ ataupun ‘buatan’, yang itu bisa melalui bermacam cara. Bermacam cara dengan rentang-kemungkinan bisa sangat lebar, dari yang ndèk-ndèk-an, rendahan, sampai yang tidak murahan. Tak mengherankan pula jika Napoleon pernah mengingatkan: “When small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity.

Bagi Pierre Bourdieu, tindakan akan terkait dengan habit, modal (capital) dan ranah (field). Pada suatu saat, terjadi gempa di Jepang dan saat itu PM sedang ada dalam pertemuan. Goncangan terjadi, tetapi PM tetap tenang. PM sebagai yang mempunyai ‘modal simbolik’ tinggi, bahkan mungkin tertinggi di luar Kaisar, sikap tenangnya tentu akan memberikan pengaruh pada khalayak kebanyakan. Langsung atau tidak. Tetapi Jepang memang sebuah wilayah akrab dengan gempa, seperti halnya AS akrab dengan tornado itu. Respon-respon terhadap berulang-ulangnya gempa bisa saja akhirnya membangun sebuah habit tertentu. Termasuk di sini misalnya ketika harus membangun sebuah bangunan, soal potensi gempa pastilah sudah masuk dalam alam pikiran perencanaan. Tenangnya PM saat terjadi gempa mungkin saja karena ia sangat yakin ada habit ‘bangun yang tahan gempa’ yang sudah ngendon dalam diri si-perancang saat membangun gedung.

‘Merawat’ semestinya tidak hanya berurusan dengan ‘hal-hal baik’ saja, tetapi juga bagaimana ‘hal-hal buruk’ tidak kemudian malah yang merebak. Dari Rene Girard dengan teori ‘segitiga hasrat’-nya kita bisa meraba bagaimana rute keberpengaruhnya si-pemegang ‘modal simbolik’ tertinggi itu bagi khalayak kebanyakan: meniru. Si-pemegang ‘modal simbolik’ tertinggi itu kemudian menjadi model bagi khalayak kebanyakan dalam menghasrati sesuatu. Tetapi nampaknya tetap ada satu prasyarat mutlak yang harus ada sehingga proses meniru itu bisa ditapak, yaitu adanya kepercayaan (trust). Memang menurut Abraham Lincoln, pada satu saat semua orang bisa ditipu, atau sekelompok orang dapat ditipu untuk selama-lamanya, tetapi jelas pula tidak semua orang bisa ditipu untuk selama-lamanya. Maka mempermainkan kepercayaan jelas ada batasnya. Batas yang hanya bisa menjadi kabur karena fanatisme, atau banalisasi. Banality of evil, demikian Hannah Arendt menyebut, yang tidak lepas dari ke-tidak-berpikiran itu.

Apa yang mau disampaikan di sini adalah, pemimpin yang bisa saja akan menjadi pemegang ‘modal simbolik’ tertinggi semestinyalah ‘hati-hati’ dalam bertindak karena ia akan ‘ditiru’ oleh kebanyakan khalayak. Ia akan juga sangat berperan dalam membangun ‘rasa-merasa’ hidup bersama. Tidak banyak yang mampu, bahkan kalau toh mampu, banyak juga yang tidak mau. Terlalu banyak yang dikorbankan. Maka nampaknya Mangunwijaya benar, kualitas suatu bangsa bisa dilihat bagaimana ia mengolah kuasa. Ketika olah kuasa itu lebih diwarnai oleh orang-orang ‘medioker’, maka orang bisa-bisa menjadi tidak sungkan-sungkan lagi pasang baliho di tengah-tengah bencana, misalnya. Atau bahkan syuting film di tengah-tengah korban bencana. Rusak-rusakan. *** (28-12-2021)

'Modal' Sebagai 'Model'