www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

29-12-2021

Judul bukan dimaksud untuk ‘nyinyir’ terhadap segala metaverse itu. Tetapi lebih pada ajakan untuk melihat dalam konteks lebih luas, dan itu berangkat dari pendapat Prof. Sumitro Djojohadikusumo, hampir 50 tahun lalu terkait dengan bagaimana sikap-respon terhadap kemajuan teknologi mestinya dibangun. Prof. Sumitro membedakan teknologi menjadi advanced technology (teknologi maju), adaptive technology (teknologi adaptif), dan protective technology (teknologi protektif).[1] Dan dalam waktu bersamaan pula kita bisa bayangkan adanya pembedaan 4 faktor-faktor produksi, capital, labour, land, dan ada yang menambahkan: entrepreneurship.

Menurut Prof. Sumitro, dalam banyak hal teknologi yang berasal dari negara-negara maju masih harus digarap dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat kita, agar dapat dimanfaatkan untuk pemecahan masalah-masalah konkrit seperti pangan, pemukiman, pemeliharaan tanah, perkembangan industri. Ukuran-ukuran utama untuk proses adaptasi dalam pengembangan teknologi kita adalah agar lebih cocok dengan pertimbangan penyerapan tenaga kerja, penggunaan bahan dalam negeri, dan juga terkait dengan neraca pembayaran luar negeri. Juga termasuk pengembangan bibit unggul untuk pangan maupun bahan perdagangan dan bahan bangunan. Juga teknologi pasca-panen misalnya, demikian Prof. Sumitro. Kemajuan teknologi, atau katakanlah ‘olah-teknologi’ janganlah semata urusan Elon Musk vs Mark Zukenberg saja, misalnya. Atau ‘raksasa-raksasa’ lainnya. Yang jelas permainan ‘creative destruction’-nya lebih banyak terefleksi pada pemilik modal (besar) saja. Tetapi bagaimana ada kreativitas yang ujungnya lebih terefleksi pada pertimbangan penyerapan tenaga kerja misalnya –atau lainnya, seperti disebut Prof. Sumitro di atas. Atau lihat terkait dengan isu kedaruratan iklim sekarang ini dan bagaimana soal ‘teknologi protektif’ yang sudah disuarakan Prof. Sumitro hampir 50 tahun lalu itu seakan mendapat momentum besarnya.

Apakah kita tidak boleh berandai-andai ikut terlibat secara intens dalam segala kemajuan teknologi itu? Tentu sangat-sangat boleh, dan bahkan harus. Tetapi sebagai pemegang kebijakan publik harus pula melihat bermacam kemajuan teknologi itu secara luas, seperti sudah disebut di awal tulisan. Bermimpi juga boleh-boleh saja. Yang tidak boleh sebagai pembuat kebijakan adalah sikap sok-sok-an, gegayaan saja. Bermacam kemajuan teknologi hanya sebagai bahan ngibul doang. Bagaimana kita bisa meraba ketika pemimpin itu sedang sok-sok-an, ngibul soal bermacam kemajuan teknologi itu? Salah satunya adalah ketika rekam jejak menunjukkan bahwa selama ini ia tidak pernah serius dalam kebijakannya terkait dengan relasi-relasi kekuatan produksi, dan dimana/bagaimana khalayak kebanyakan ada dalam kebijakannya itu. Dengan kebijakannya, dengan keputusan-keputusan politiknya ia semestinya dengan serius mendorong apa yang disebut oleh Prof. Sumitro sebagai teknologi adaptif itu, dengan segala refleksinya pada peningkatan kesejahteraan khalayak kebanyakan. Sok-sok-an ngibul soal lompat-lompat, ngibul soal ‘meta-meta’-an, ngibul revolusi 4.0, ngibul soal fakultas jurusan ‘toko on-line’, atau sekitar-sekitarnya itu hanya akan membawa republik pada sebuah mimpi yang sungguh tak terdukung. Dan membuang-buang waktu yang juga sungguh berharga itu. Dengan omongan yang dia sendiri bahkan hanya paham permukaannya saja. Omong asal njeplak, jauh dari sikap prudence. Republik terlalu mahal untuk dijerumuskan dengan segala per-kibul-an itu. Dan sadar-atau-tidak sadar, kekerasan terhadap khalayak sebenarnya sudah terjadi: karena ‘pembunuhan’ potensi bangsa sedang terjadi. *** (29-12-2021)

 

[1] https://www.pergerakankebang

saan.com/431-Belajar-Dari-Prof-Sumitro-Djojohadikusumo/

'Metamarhaen'