www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

13-01-2022

Dari bermacam peristiwa, orang bisa menghayati bermacam kemiripan. Bahkan kemudian bisa dibayangkan bahwa a1, a2, a3 itu tidak hanya mirip, tetapi sama. Dari bermacam peristiwa yang seakan mengikuti ‘hukum’ mati satu tumbuh satu atau dua, bisa diamati pula penampakan-penampakan itu banyak miripnya. Seakan ada sebuah pola. Penampakan-penampakan seperti apa yang dimaksud dalam tulisan ini? Penampakan-penampakan ‘asal njeplak’, ‘asal mangap’ yang ujungnya banyak menuai kegaduhan. Sebagian besar memang memakai bahasa verbal, tetapi kadang pula dengan bahasa tubuh. Seolah-olah yang mempunyai talenta ‘asal njeplak’ itu bergiliran tampil ke depan publik.

Mengapa ‘kegaduhan’ seakan terus ‘dibina’? Yang dibicarakan di sini adalah, katakanlah panggung ‘kegaduhan’ dengan latar belakangnya adalah ranah politik. Ranah kuasa. Ranah siapa ‘berdaulat’ Dan kata Carl Schmitt seabad lalu, siapa yang berdaulat adalah ‘who decides on the exception’. ‘Kegaduhan’ itu sedikit banyak, dan jika terus-menerus, akan terhayati pula sebagai situasi ‘exception’ itu. Dan soal ‘siapa’-nya, meminjam pembedaan Alvin Toffler, apakah yang pegang kekuatan pengetahuan, atau kekuatan uang, ataukah kekuatan kekerasan? Jadi memang kemungkinan besar soal gaduh ini lebih dari sekedar hobi belaka. Ada soal kuasa di situ, bahkan tanpanya rasa-rasanya tidak mungkinlah itu bisa dipahami.

Menurut Alvin Toffler, dominasi kekuatan kekerasan akan mengemuka ketika terjadi Revolusi Pertanian, dan digeser oleh kekuatan uang saat terjadi Revolusi Industri, dan sekarang di era Revolusi Informasi, kekuatan pengetahuan-lah yang mestinya akan mengemuka. Tetapi ketika masih banyak yang menggantungkan hdup pada ranah-ranah Revolusi Pertanian, meski sekarang kita sudah ada di era Revolusi Informasi sebenarnya, akankah pada ujungnya kekuatan kekerasan yang akan tampil sebagai si-sovereign? Deja vu? *** (13-01-2022)

Indonesia's Got Talent