www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-01-2022

Bagaimana kita menghayati adanya kuasa itu? Atau bagaimana kita menghayati adanya sebuah ideologi? Atau juga misalnya, warna merah? Warna hijau? Atau warna lainnya? Harold J. Laski pernah menulis ‘pertanyaan’, bagaimana orang kebanyakan akan menghayati karakter sebuah negara? Dijawab sendiri, melalui pemerintahannya. Atau tegasnya, melalui orang-orang yang duduk di pemerintahan itu. Kita bisa mendeskripsikan bahwa warna merah itu punya panjang gelombang sekian, dan mempunyai sifat jika dicampur dengan warna A akan menjadi B, dan seterusnya. Tetapi, sekali lagi, bagaimana kita menghayati warna merah itu? Ketika ia melekat pada sebuah kursi misalnya. Atau mainan, atau pintu. Bagaimana kita bisa menghayati adanya Pancasila? Bukankah kita baru bisa menghayati adanya Pancasila dari keputusan dan perilaku pengelola negara? Dan bukan dari berjam-jam penataran P4 pada khalayak biasa seperti jaman old itu? Atau main-main slogan kosong itu.

Meski ke-lima nilai-nilai dasar yang disepakati sebagai dasar dalam mengelola negara, ada beberapa nilai yang sungguh ‘menggetarkan’ bagi sebagian khalayak, misal soal kerakyatan dan keadilan sosial. Maka katakanlah slogannya misalnya, kemudian tak jauh-jauh dari pro yang serba kecil-kecil itu. Berpihak pada yang serba kecil. Artinya, ketika ia mendapat kesempatan untuk mengelola negara, ia akan lebih menekankan keputusan-keputusan yang jelas itu berpihak pada yang serba kecil-kecil itu. Demi semakin mendekatkan hidup bersama pada keadilan sosial. Maka ketika ‘puasa kuasa’ itu kemudian berhenti dan mendapat kesempatan untuk mengelola negara, semestinya bagaimana ia akan menggunakan kekuasaan itu akan dituntun oleh apa-apa yang ‘menggetarkan’ itu. Dan itu sudah bukan lagi soal slogan dan bagaimana itu diteriakkan, tetapi adalah soal keputusan politik dan eksekusinya, dan juga soal perilaku sebagai pengelola negara. Bisa? Atau sebenarnya, kuasa boleh saja ‘berhenti puasa’, tetapi soal ideologi rasanya tidak hanya puasa, tetapi tidur terus. Lelap sekali. Sok-ideologis-lah sebenarnya. Tidak lebih dari itu. Tidak mudah memang, makanya Machiavelli pernah ‘mengingatkan’ bahwa soal merebut kuasa itu bisa beda dengan saat menggunakan kuasa. Atau warga dunia maya kadang menyebut sebagai ‘lagak-kebo’: lapar galak, kenyang bego. Masih mau ditipu? *** (22-01-2022)

Puasa Ideologi