www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

26-01-2022

Ternyata kita adalah juga ‘binatang pemuja’. “Manusia adalah binatang pemuja,” kata Nietzsche (1844-1900) dalam La Gaya Scienza (GS, 346), demikian dikutip oleh Setyo Wibowo.[1] Sekitar 400 tahun sebelumnya Machiavelli dalam The Discourses (Book 1, Ch. XLIV) pernah mengatakan bahwa manusia sering terjerumus pada sebuah kesalahan ketika ia tidak tahu batas dari harapan-harapan mereka. Dan masalahnya, dalam soal ‘pemujaan’ ini sebenarnya juga ada harapan. Harapan bahwa si-pujaan akan memberikan rasa aman dalam dunia yang ‘penuh kekacauan’ ini. Atau paling tidak juga ikut memberikan kontribusi besarnya dalam pencarian makna hidup yang sedang dijalani. Batas-batas seperti disebut oleh Machiavelli di atas itu nampaknya akan lebih mudah menipis pada manusia massa. Ketika ‘insting gerombolan’ itu mengalami gejolaknya. Lalu dimana ‘kecerdasan kolektif’ itu kemudian ada di sekitarnya?

Apakah ketika ‘kecerdasan individu-individu’ ditingkatkan maka ‘akibat yang tidak diarahkan pada awalnya’ yaitu: kecerdasan kolektif, akan dengan sendirinya meningkat pula? Ataukah ketika setiap hidung warga hapal Pancasila, misal melalui penataran-penataran di jaman old itu kemudian serta merta ‘masyarakat Pancasila’ kemudian terwujud? Seperti logika Adam Smith dalam mencapai ‘the wealth of nations’ itu? Ketika kepentingan-diri diberi kesempatan luas untuk meningkatkan kesejahteraannya masing-masing, maka kesejahteraan kolektif-pun akan mewujud. Akankah sejarah berjalan secara ‘garis lurus’ seperti itu?

Sadar atau tidak, nampaknya dimensi manusia sebagai ‘binatang pemuja’ tidak lepas dari soal kuasa. Kuasa yang ada dalam diri ‘pujaan’-nya yang kemudian diharapkan mampu memberikan ‘tertib-dunia’ di tengah semesta yang penuh kekacauan. ‘Tertib-dunia’ sehingga ia mampu menjalani hidup tidak hanya dengan rasa aman, bahkan juga bisa memberikan makna. Masalahnya adalah seperti ditunjukkan oleh Rene Girard dalam teori ‘segitiga-hasrat’-nya, yaitu ketika sang-pujaan tidak hanya sebagai pujaan tetapi sekaligus sebagai ‘model’ juga. Subyek (S) akan menghasrati obyek (O) karena ia meniru model (M) yang juga menghasrati (O). Tidak jauh dari logika iklan sebenarnya. Tetapi Girard menunjukkan bahwa pada titik tertentu bisa-bisa muncul semacam ‘rivalitas’ antara S dan M, dan untuk itulah muncul ‘kambing-hitam’ yang akan menghindarkan sifat destruktif dari rivalitas semacam itu. Terlebih jika M adalah lebih sebagai ‘model internal’ karena katakanlah, ‘jarak-dekat’-nya dengan S. Amy Chua dalam awal bukunya Political Tribes (2019) menuliskan: “Humans are tribal. We need to belong to groups. ... But the tribal instinct is not just an instinct to belong. It is also an instinct to exclude.” Jangan-jangan yang jadi bahan –apa, siapa-pun itu, atau sasaran ‘an instinct to exclude’ adalah juga si-‘kambing hitam’? Atau juga yang sering disebut sebagai ‘musuh bersama’ itu? *** (26-01-2022)

 

[1] Setyo Wibowo dkk, Para Pembunuh Tuhan, Kanisius, 2009, hlm. 8

Kita Adalah 'Binatang Pemuja' (1)