www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

23-02-2022

Ditulis oleh Koentjaraningrat, hampir 50 tahun lalu tentang mentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunan: (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tak percaya pada diri sendiri, (4) tak berdisiplin murni, dan (5) suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.[1] Atau bisakah hal-hal di atas dihayati sebagai bagian dari ‘jalan gampang’?

Tetapi bukankah petani-petani kita adalah yang ulet dan pekerja keras? Dan selalu ingin meningkatkan hasil taninya? Atau juga banyak pedagang-pedagang yang pantang menyerah? Atau pekerja-pekerja kreatif yang selalu tidak berhenti mencoba? Tetapi mengapa rasa-rasanya sinyalir Koentjaraningrat 50 tahun lalu seakan masih relevan? Apa yang terjadi bertahun terakhir ini rasa-rasanya bisa sangat membantu dalam pencarian penjelasan, yaitu justru ‘ranah kuasa’ seakan menjadi pengungkit utama dari hal-hal di atas, sinyalir Koentjaraningrat 50 tahun lalu itu, atau katakanlah justru ranah kuasa-lah penyebar utama dari ‘jalan gampangisme’ itu. ‘Pendekatan kultural’ jelas sangat penting dan mesti terus diupayakan tanpa henti dengan bermacam strateginya. Tetapi seperti sudah disinggung di muka, hal ‘struktural’ itu sayangnya bisa dengan mudah ‘mengobrak-abrik’ hal-hal baik yang sudah terbangun sedikit-demi-sedikit. Atau masalahnya, mungkin menjadi lebih rumit jika dilihat dari ‘luar angkasa’? Dari segala silang-tabraknya, bagaimana jika kemudian menjadi nampak ada yang ingin komunitas di bentangan republik itu supaya tetap jadi ‘komunitas medioker’ saja? Maka siapapun yang berkuasa, ia mestilah mau masuk dalam, katakanlah, ‘faustian bargain’ itu. Sik-Faust yang sungguh berkepentingan terhadap republik, dari sisi apapun. Entah itu faktor geo-ekonominya, maupun geo-politiknya, atau dua-duanya, dengan segala turunannya. ‘Faustian bargain’ dalam bayang-bayang ‘kutukan sumber daya’ itu? Mengapa kita sebagai sebuah bangsa begitu demennya untuk gonta-ganti kurikulum, misalnya? Bisa mudah dijawab, tetapi juga bisa rumit jawabannya.

Politik sebagai ‘mainan utama’ ranah kuasa itu memang sangat lekat dengan godaan ‘jalan gampang’. Bagaimana tidak, adakah politik yang lepas dari soal ‘jualan mimpi’? Maka disinilah sebenarnya pentingnya peringatan Machiavelli, dimana Machiavelli menegaskan bahwa manusia sering –katakanlah, tenggelam dalam sebuah kesalahan karena ia tidak tahu lagi batas-batas dari sebuah harapan. Jika harapan, mimpi, adalah bagian dari imajinasi, bagaimana kita bisa meraba ‘batas’ dari sebuah imajinasi? Paling tidak ada tiga hal, dengan menghadirkan imajinasi-imajinasi lain, ‘dikembalikan’ lagi pada fakta-fakta aktualnya, dan juga dikonfrontir dengan fakta-fakta potensialnya juga. Bagaimana jika imajinasi lain itu dibatasi, atau bahkan ditekan? Atau oposisi yang begitu lemahnya, pers ada dalam genggaman atau bahkan ‘sukarela’ menyerahkan lehernya? Atau buzzer-buzzer bayaran yang akan memaki atau merengsek dengan ganas dan brutal apapun imajinasi lain itu? Atau data-data terus saja dimanipulasi? Maka bermacam kesalahan-pun akan membayang, dan berapa ‘harga’ dari bermacam kesalahan itu?

Tetapi kesalahan bagi siapa? Apakah bagi sik-Faust itu adalah sebuah kesalahan? Karena memang harapan atau imajinasi dari sik-Faust itu jelas akan beda, dan apa lagi jika bukan imajinasi penguasaan? Maka teater negara dengan lakon ‘jalan gampang’ itupun akan rutin digelar berulang-dan-berulang. Penguasaan tentu akan lebih mudah jika ‘mediokerisasi’ di kalangan kebanyakan bisa terus di intensifikasikan. Juga tentu, ancaman bagi sekitar akan berkurang jika yang dihadapi adalah kaum ‘medioker’ saja.

‘Jalan gampangisme’ ini bisa begitu merusaknya, sebab menurut Toynbee, semakin ‘tinggi’ nilai sebuah budaya maka semakin sulit ia menembus, tetapi semakin ‘rendah’ nilai sebuah budaya ia akan semakin mudah menembus, resistensinya akan lebih kecil. *** (23-02-2022)

 

[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Gramedia, 1985, cet. 12, hlm. 45

Jalan Gampangisme