www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

06-04-2022

13 April 1917, seratus lima-an tahun lalu, Woodrow Wilson, presiden AS waktu itu, membentuk Committee on Public Information, yang sering dikenal sebagai Komite Creel karena dipimpin oleh George Creel. Tugasnya adalah membentuk opini publik sehingga keinginan ia terlibat dalam Perang Dunia I di Eropa sana mendapat dukungan dari rakyat AS. Masa itu adalah periode ke-2 ia menjabat, dan saat ia memenangkan untuk periode 1917-1921 (periode 1, 1913-1917) perang sedang di puncak-puncaknya. Saat kampanye, ia ingin meneruskan untuk tidak terlibat dalam PD I, seperti kebanyakan warga AS saat itu, dan terpilihlah lagi ia untuk periode ke-2nya. Tidak lama setelah terpilih, seperti disebut di atas, ia segera membentuk Komite Creel untuk mencari dukungan rakyat atas keinginannya terlibat dalam PD I di Eropa sana. Maka bekerjalah Komite Creel, dan dalam hitungan bulan, perlahan rakyat AS yang semula apatis terhadap perang, menjadi menggebu-gebu mendukung Woodrow Wilson mengirim pasukan melawan Jerman di Eropa sana. Dan dari situlah cikal-bakal ‘konsultan politik’ yang katakanlah kemudian menjadi ‘industri’ itu.

Mengapa Creel dkk dapat begitu berhasil? Pertanyaan ini mesti diajukan supaya jika ada yang berkeinginan untuk meniru di tempat lain, di waktu lain, bisa hati-hati. Misal, ada yang berkeinginan membentuk Komite Q untuk melakukan propaganda dengan hasil akhirnya adalah perpanjangan masa jabatan presiden, baik melalui penundaan pemilu atau menjabat lebih dari 2 periode. Yang perlu pertama-tama diperhatikan adalah, Woodrow Wilson membentuk Komite Creel bukan untuk memperpanjang kekuasaan. Sedang Komite Q kalau memang ada seperti dicontohkan di atas, adalah untuk memperpanjang kekuasaan. Tentu ‘rasanya’ akan berbeda.

Menurut Amy Chua (2019), ke-tribal-an manusia itu seakan tidak hanya tak terelakkan, tetapi pada saat yang sama insting meminggirkan yang lainpun akan membesar. Dalam evolusinya, ancaman akan berlangsungnya hidup memang memaksa manusia untuk berkelompok. Maka bisa dimengerti pula, perang adalah bahan bakar efektif untuk mendorong semakin dalamnya ke-tribal-an manusia. Dan sekaligus juga memperbesar an instinct to exclude-nya. Apalagi di era perang Dunia I itu, modus komunikasi mass-to-mass belumlah berkembang sama sekali. Yang sudah berkembang menjangkau rumah-per-rumah di AS sono waktu itu adalah modus komunikasi man-to-mass, melalui bermacam produk barang cetakan dan juga radio. Dan juga tentunya, film. Dalam konteks seperti itulah Komite Creel bekerja. Dalam nuansa begitu menggeliatnya Revolusi Industri. Bagaimana jika itu terjadi di era Revolusi Informasi? Maka bayangkan Creel dkk bekerja di jaman old, pihak yang menjadi ‘sasaran’ propaganda sama sekali tidak bisa ‘membela’ diri, atau melakukan propaganda balasan. Apalagi pihak Jerman saat Perang Dunia I itu letaknya sangat jauh dari daratan AS sono.

Mungkin bukannya tanpa alasan Negri dan Hardt dalam Empire (2000) menekankan peran ‘polisi’, atau katakanlah waskat, pengawasan melekat atau bahkan represif bagi ‘the rest’, sisa di luar kaum ‘bangsawan’-nya. Keluaran bermacam propaganda, syukur-syukur bisa sesuai harapan maksimalnya. Karena ‘target’ sebenarnya adalah memberikan latar belakang, atau bahkan legitimasi -setipis apapun, untuk ‘beraksi’-nya dua kekuatan: kekuatan uang dan kekuatan kekerasan. *** (06-04-2022)

Bukan Komite Creel