www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

10-04-2022

Menonton tayang ulang film dokumenter Fake Famous besutan HBO (tayang perdana sekitar Februari 2021) memberikan banyak penjelasan. Terlebih di ranah sosial media. Kalau ada film How to Train Your Dragon beberapa waktu lalu, maka porsi utama dalam Fake Famous adalah soal bagaimana menjadi seorang influencer. Terutama melalui jalur cepat, jalur ‘gampang’. Digambarkan bagaimana soal ‘like’ itu bisa direkayasa. Soal ‘follower’ itu bisa dibeli. Bahkan komplit dengan ‘comment-comment’-nya. Juga kegilaan ‘gambar-palsu’-pun ditayangkan. Bagaimana dudukan toilet duduk bisa memberikan gambar-palsu seakan seseorang sedang naik pesawat. Atau bagaimana interior ‘jet pribadi’ yang terbuat dari kayu-papan itu memberikan gambar dramatis ketika masuk dalam konten sosisal media. Biaya sewanya sekitar 50 dollar, kalau tidak salah. Juga rumah-rumah mewah beserta isinya disewakan untuk pembuatan konten sosial media. Atau bergaya foto di suatu tempat di LA tetapi ditulis sedang berlibur di Bali. Atau pergi ke toko kacamata, pinjam kacamata mahal sebentar, untuk foto, dan dimuat di sosial media. Apakah ini soal mau jadi terkenal? Tetapi bagi sebagian besarnya, nampaknya tidak soal terkenal saja, tetapi juga bermacam keuntungan yang mengikutinya. Satu paket, nampaknya. Paket komplit.

Bagaimana jika tetap terkenal tetapi nampak sederhana? Atau menjadi semakin terkenal karena ‘kesederhanaan’? Bisa, jangan pakai sepatu mahal, baju mahal, macam-macam yang mahal itu. Setelah itu difoto, beli yang nge-‘like’ komplit dengan ‘comment’-nya, terkait dengan begitu sederhananya ia. Apalagi dalam gambar tersaji, sepatu di beri harga hanya sekian rupiah, baju sekian rupiah, dst. Setelah sesi foto, yang ‘murah-murah’ itu ya disimpan lagi. Apakah di ranah politik juga terdampak dinamika ‘fake famous’ ini? Nampaknya terdampak juga, meski menjengkelkan. Tidak hanya di sini, tetapi di banyak tempat di planet ini. ‘Dunia ke-3’ popperian ini sudah menjadi pasar bebas yang se-bebas-bebasnya. Dunia tempat kata, teori, gambar, imajinasi di lempar ke dalamnya.

Machiavelli sekitar 400 tahun lalu sudah menandaskan bahwa soal merebut kekuasaan itu bisa berbeda dengan saat menggunakan kekuasaan. Anda sedang berusaha menjadi raja atau sudah menjadi raja? Demikian kurang lebihnya pertanyaan Machiavelli. Dan kemudian dijelaskan apa-apa yang mesti dilakukan saat berusaha menjadi raja, dan setelah jadi raja bisa saja itu tidak dilakukan lagi. Hitler, menapak jadi ‘raja’ melalui rute demokrasi, tetapi setelah jadi kemudian merasa menjadi raja beneran. Apa yang dipikirkan Machiavelli jika ia hidup di era sosial-media seperti sekarang ini? Mungkinkah ketika berusaha menjadi ‘raja’ melalu jalur demokrasi, ia akan menyarankan: jadilah influencer #1? Dan setelah jadi (‘raja’)? Atau katakanlah, jadi presiden? Maka jika toh kemungkinan yang diajukan oleh Machiavelli itu besar potensinya untuk kejadian, maka ‘perbedaan’ yang bisa diharapkan di ranah demokrasi adalah, saat berusaha merebut kuasa lebih pada soal ‘teknis’, tetapi setelah berkuasa, hal ‘esensi’-lah mestinya yang maju ke depan. Dan jelas juga ini tidak bisa hanya mengandalkan ‘orang baik’ saja, karena terkait dengan kuasa yang selalu menggoda. Ia perlu selalu dikontrol, diperingatkan, dan sekitarnya oleh yang sering kita kenal sebagai oposisi (pada umumnya) –si advocatus diaboli. Tidak hanya partai oposisi, tetapi juga pers, masyarakat sipil dan lain-lainnya.

Dalam soal fake-fake-an, palsu-palsu-an, semakin nampak ada dua wajah dalam sosial media. Ia bisa penuh kepalsuan, tetapi juga ia penuh kemungkinan terbongkarnya kepalsuan itu. Melalui bermacam caranya. Bagi kapitalisme, lingkaran palsu-bongkar-palsu-bongkar ini seakan tidak masalah sebab ia toh masih ada dalam, katakanlah, ranah ‘creative destruction’. Palsu-memalsunya semakin canggih, demikian juga kecanggihan dalam bongkar-membongkarnya. Repot memang, tetapi siapa suruh mau ditipu? Repot memang, seperti dikatakan oleh Machiavelli, selalu ada saja orang-orang yang ‘mau’ ditipu itu. Terlebih jika mengikuti Herman Broch soal kesadaran temaram itu, twilight state. ‘Manusia individu’ itu kemudian punya potensi besar menjadi ‘manusia massa’.

Pemilihan dalam ‘demokrasi kapitalisme’ juga bisa terhayati sebagai tak jauh di atas, pemilih seakan sosok ‘konsumen’. Konsumen yang hasratnya akan sesuatu ‘dituntun’ oleh hadirnya bermacam model. Dan influencer adalah salah satu model yang bisa-bisa memberikan pengaruh besar bagi ‘follower’-nya. Model yang akan ditiru oleh ‘follower’-nya. Bahkan jika sang influencer itu mengambil rute ‘fake femous’ seperti dicontohkan di awal tulisan. Suatu dinamika di abad informasi yang tidak jauh digambarkan Manuel Castells di penghujung abad 20, dalam era digital ini pencarian mana akan lebih ‘bergejolak’ di sekitar ‘identitas’. Jika Viktor Frankl pernah menulis bahwa makna bisa dicari dalam penderitaan, pekerjaan, dan cinta, nampaknya ‘cinta buta’ pada ‘identitas’ ini kemudian lebih menggejala di era digital. Itulah juga soal fanatisme yang disinyalir oleh Paulo Fraire juga semakin mudah membesar, terlebih pada ‘kaum mapan’ dan di kota-kota besar. ‘Logika waktu pendek’ yang meminggirkan kedalaman dan keluasan itupun semakin merebak, menghantam tidak hanya pada media mainstream, tetapi juga para ‘penikmat’-nya.

Maka permainan ‘the good, the bad, the ugly’-pun[1] mempunyai batas kemujarabannya. Tak jauhlah dengan model lain-lainnya. Si-‘the good’ yang beraksi sebagai influencer #1, semestinya begitu terpilih ia bertindak, bertingkah, tidak lagi dipompa sebagai influencer. Apalagi jalur membesarnya sebagai influencer lebih dekat dengan rute fake famous. Berulang dan berulang. Karena bagaimanapun juga, soal palsu-palsu-an ini akan berhadapan dengan soal bongkar-bongkar-an. Dan pada titik tertentu pastilah akan sampai pada logika creative destruction itu. Dan karena ini ranah kuasa, ranah kekuasaan negara, ‘destruction’-nya mempunyai rentang sangat lebar. Dari ‘yang damai’ sampai pada ‘yang hancur-hancuran’. *** (10-04-2022)

 

[1] https://www.pergerakankebang

saan.com/001-The-Good-The-Bad-The-Ugly/

Serasa Influencer #1