www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

14-04-2022

Kekerasan sebagai sebuah kemungkinanlah nampaknya yang mendorong Thomas Hobbes menulis Leviathan sekitar 400 tahun lalu. Kekerasan yang dicoba dihindari melalui pengoptimalan kemampuan manusiawi: membuat kesepakatan-kesepakatan. Ketika kemampuan membuat kesepakatan itu menipis, maka tidak mengherankan pula pintu gerbang kekerasan –dalam bermacam bentuk dan skalanya, akan terbuka semakin lebar. Adanya kekerasan, bahkan kekerasan a la 'rimbawan', tidaklah mungkin menghilang dalam kemungkinannya. Esensi demokrasi adalah adanya kemungkinan ‘matinya’ sebuah rejim, dan itu adalah pertama-tama berasal dari soal kesepakatan-kesepakatan itu. Yaitu soal diingkarinya kesepakatan. Dan kesepakatan utama adalah bukan soal kesepakatan pada siapa dipilih, tetapi adalah kesepakatan terhadap janji-janji kampanye-nya. Sebuah kontrak ‘jangka waktu tertentu’ sesuai dengan janji terucap. Saat pemilih sepakat dengan janji-janji kampanyenya.

Bagaimana jika si-terpilih kemudian mengingkari janji-janji kampanyenya? Tentu kemampuan manusiawi masih bisa menerima, masih bisa ‘mengelola’ dan tidak kemudian serta-merta pintu gerbang kekerasan terbuka lebar. Maka ini adalah soal batas. Ketika tipu-tipu menjadi tidak tahu batas lagi, tidak mengherankan pula pintu gerbang kekerasan itu mulai terbuka, terbuka, dan terbuka semakin lebar. Tidak selalu pihak berseberangan yang mulai membuka pintu gerbang kekerasan itu, tetapi bahkan seringnya yang sedang berkuasalah justru yang mulai membuka pintu gerbang kekerasan. Kekerasan oleh penguasa. Oleh negara. Sebab sebenarnya mereka tahu persis bahwa mengingkari kesepakatan yang dibuat berdasarkan janji-janji kampanye itu bisa-bisa berujung pada ‘matinya rejim’ di ranah demokrasi. Dan mereka tahu juga bahwa pengingkaran-pengingkaran itu akan semakin membuka ‘selimut’ kekerasan pada titik tertentunya. Maka, mengapa tidak di-‘maksimal’-kan, tidak dimainken sekalian? Begitu sebagian dari mereka bisa berpikir. Kombinasi dari ini akan muncul sebagai, katakanlah, indeks demokrasi yang menurun, misalnya. Dan ‘spiral kebusukan’-pun akan terpicu. Demokrasi-pun akan semakin menurun, dan bisa-bisa terjun bebas ke alam otoritarianisme. Era dimana ‘kejahatan logika’ dan ‘kejahatan hasrat’ –meminjam istilah Albert Camus, sudah tidak terbendung lagi. *** (14-04-2022)

Kekerasan Sebagai Sebuah Kemungkinan