www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

01-05-2022

Lalu dimana letak untaian kata-kata di akhir Pembukaan UUD 1945 yang kita kenal sebagai Pancasila itu? Letaknya di ranah politik? Dalam bermacam akreditasi (lihat bagian 1) ada pasal penilaian soal visi dan misi. Di ranah manajemen kita kenal visi, misi, strategi, goal, objective, dan action plan. Maka Pancasila lebih ada di visi, sebagai ‘bintang penuntun’, leitstar. Mungkin kita tidak akan pernah mencapai ‘bintang’ itu, tetapi bagaimanapun bintang tersebut dapat menuntun arah gerak kaki dijalankan. Tidak hanya bagi pengelola negara, tetapi ketika negara dikelola secara ugal-ugalanpun khalayak bisa menegurnya. Paling tidak dengan mengatakan bahwa anda sudah melenceng dari arah yang ditunjuk oleh ‘bintang penuntun’ itu. Itulah, katakanlah, ketika Pancasila mulai berkembang menjadi ‘ideologi kritis’.

Keempat hal yang disinggung di awal alinea 4 Pembukaan UUD 1945, bisa dikatakan sebagai pernyataan misi bernegara (atau kalau memakai istilah Driyarkara, menegara), ‘turunan’ lebih ‘praktis’ dari visi yang digendong oleh Pancasila. Pemilihan umum adalah ‘kompetisi’ bagaimana visi dan misi itu diterjemahkan dalam strategi, goal, objective, dan action plan-nya. Maka memang perlulah ‘kaum teknokrat’ itu, misalnya ada dalam jajaran kabinet. Yang akan menterjemahkan lagi strategi, goal, objective, dan action plan dalam bermacam eksekusinya, dalam bermacam action-nya.

Tetapi kuasa negara tentu akan berbeda dengan kuasa di ranah perusahaan, misalnya. Di ranah negara, undang-undang, peraturan dibuat. Bahkan bisa mempunyai tentaranya sendiri. Polisinya sendiri. Hakim, jaksa, dan lain-lainnya. Juga pajak ditarik. Dimana perusahaan misalnya, atau kelompok-kelompok suka-rela, tidak memiliki hak semacam itu. Tetapi siapa bilang perusahaan atau juga katakanlah kelompok-kelompok suka-rela itu tidak bisa mempengaruhi kuasa yang ada di ranah negara? Tentu bisa, dan sebaiknya bisa. Masalahnya di setiap komunitas, soal ‘keserakahan’ itu tidaklah melenyap sama sekali. Dan bahkan tidak mungkinlah dilenyapkan. Perusahaan-perusahaan besar, big business atau juga kelompok-kelompok suka-rela yang berposisi di ujung sana atau di ujung sono, akan tetap ada dengan segala ‘keserakahan’-nya. Ingin menentukan kemana arah-gerak kuasa negara, bahkan jika perlu sang-leitstar dipensiun dulu.

Di balik soal ‘keserakahan’ itu nampaknya ada pesan, ada hal-hal yang memang ‘di luar kendali’. Jika ada yang berimajinasi semua hal ‘bisa dikendalikan’, maka memang totaliter-lah jalan yang mesti ditapak. Mau? Tentu tidak. Jika tidak mau maka mau-tidak-mau apa-apa yang ‘di luar kendali’ itupun akan ikut dalam ‘kompetisi’ pula. Dalam bermacam survei di banyak belahan dunia, jika ada pembedaan kanan-kiri misalnya, atau jika terlalu ‘bias’: utara-selatan-barat-timur, sebagian besar pemilih itu ada di ‘tengah’. Yang memilih karena alasan sungguh karena ‘kanan’ atau sungguh ‘kiri’ akan jauh lebih sedikit. Apalagi yang ada di ujung ‘kanan’ maupun ‘kiri’. Secara teoritis, banyaknya singgungan dengan istilah mimesis, meniru dalam bermacam pendapat, mengindikasikan kebenaran survei-survei itu. Tentu ini akan juga terpengaruh bagaimana hal ‘teknis-taktis’ berkembang.

Salah satu pelajaran bertahun terakhir yang bisa kita tarik adalah, ‘kesibukan’ otak-atik visi yang sebenarnya sudah jelas itu, membuat hal misi menegera terbajak, sadar atau tidak. Terjebak dalam ‘dunia visi’ tahu-tahu ‘dunia misi’ sudah digeser-digondol menjadi ‘anak buah’ visi kepentingan lain, kepentingan keserakahan segelintir pihak. Indikasi kuatnya adalah ketika janji-janji kampanye yang mestinya sebagai strategi, goal, objective dan action plan dari misi pemerintahan Indonesia ternyata begitu mudah untuk diingkari. Strategi yang ditawarkan saat kampanye begitu kuat bau kerakyatannya, setelah setelah berkuasa bau kepentingan oligarki dan sejenisnya justru yang menyengat. Rusak. *** (01-05-2022)

Empat Krisis Dalam Politik (2)