www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-05-2022

Bagaimana kita membayangkan kegilaan Kaisar Nero (Kaisar Romawi tahun 54-68)? Atau kegilaan seorang Hitler? Atau kegilaan bermacam kuasa lainnya? Layaknya dalam ilmu jiwa, bagaimana supaya kegilaan dalam kuasa tidak meletup-letup keluar dari sarang maka bermacam pendekatan dikembangkan. Tetapi apapun itu, karena kuasa yang dibicarakan di sini adalah kuasanya manusia, maka kegilaan mestinya tetap harus dianggap akan ada secara potensial. Seperti dikatakan oleh Harold J. Laski, bagaimana kita meraba karakter sebuah negara? Maka tidak lain adalah melalui pemerintahannya, atau katakanlah, melalui manusia-manusia kongkret yang sedang mengelola negara tersebut. Manusia dengan segala hasratnya, manusia apa adanya.

Apakah kewarasan negara hanya perlu menemukan satu ‘orang baik’ saja? Sejarah membuktikan itu sangat-sangat-sangat tidak cukup. Terlebih dengan semakin kompleksnya bermacam kepentingan. Maka salah satu jalan upaya latihan diri menjadi lebih baik: dengan jalan hasrat vs hasrat, bisa memberikan banyak pelajaran. Bukan dalam konteks semata peningkatan kualitas diri, tetapi dalam upaya peningkatan kualitas hidup bersama. Tidak jauh ketika Platon bicara soal ‘merawat jiwa’ dan dengan itu pula imajinasi soal ‘polis’ berkembang. Ketika satu anggota parlemen Inggris terungkap sedang melihat situs porno saat sidang parlemen, ia kemudian mengundurkan diri. Hasrat berkuasa itu ditabrakkan dengan hasrat akan nama baik, dan dengan mekanisme itu ia memilih mengundurkan diri. Naif? Tidaklah. Ia paham apa yang sedang dipertaruhkan jika ia tidak mengundurkan diri: rusak atau turunnya kualitas hidup bersama.

Maka adanya trias-politika, atau juga ada tambahan: pers, masyarakat sipil, atau bahkan sosial-media, juga bisa kita hayati sebagai upaya menjaga kewarasan bernegara (atau menegara menurut Driyarkara) melalui jalan hasrat vs hasrat itu. Hasrat korupsi dilawankan dengan hasrat akan nama baik. Repotnya, yang korupsi itupun masih pecingas-pecingis, seakan nama baik bukanlah yang sedang dipertaruhkan. Atau dilawankan hasrat akan kebebasan. Repotnya, meski sudah dipenjarapun, bermacam ‘kenikmatan’ jangan-jangan masih bisa dinikmati. Maka kadang yang paling ‘efektif’ adalah ketika hasrat dilawankan dengan ‘matinya hasrat’. Rejim demokrasi bisa kita hayati melalui jalan ini, ia dihadapkan pada ‘matinya rejim’ yang sedang berkuasa. Yang sedang dalam ‘kepuasan hasrat’ berkuasa. Maka bermacam ‘pembiasaan’ yang ujung sebenarnya adalah: gak ada matinya tuh, harus sungguh diperhatikan. Pembiasaan yang mulai menyelusup pelan-pelan sejak awal, melalui: ‘paradigma orang baik‘ itu. ‘Orang baik’ tidak sepantasnya ‘mati’. Kenapa? Karena ia ‘orang baik’. Apa hanya itu soal ‘paradigma orang baik’ itu? Masih ada satu hal, karena ia ‘orang baik’ maka jalan hasrat vs hasrat itu maunya tidak diperlukan lagi. Kenapa? Sekali lagi, karena ia ‘orang baik’.

Ketika ‘manajemen hasrat’ dalam hidup bersama itu ada dalam bayang-bayang ‘orang baik’ -seperti sudah disebut di atas, maka bisa diraba rute ‘hasrat vs hasrat’ melalui trias-politika, dan bahkan pers, masyarakat sipil, dan sosial media-pun akan bisa tertatih-tatih. Tidak usah aèng-aèng, sudah ada ‘hooorang baik’! Demikian mungkin ada dalam benak mereka, pengusung ‘paradigma orang baik’ itu. Bahkan jika perlu tidak hanya ‘orang baik’, tetapi ‘raja yang baik hati’! Maka, main raja-raja-anpun[1] akan digelar pula. Rutin. Litani puja-puji keluar dari mulut orang-orang-bayaran-pun rutin digelar pula. Atau dari mulut yang sudah tenggelam dalam fanatisme. Kegilaan yang sudah berkembang dari ‘hilir ke hulu’. *** (08-05-2022)

 

[1] https://www.pergerakankebang

saan.com/873-Main-Raja-raja-an/

Negara Dan Kewarasannya (1)