www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

10-05-2022

Ada bermacam faktor mengapa pemilu 1999 dari beberapa aspeknya bisa dikatakan pemilihan umum terbaik setelah era Orde Baru. Salah satunya ada yang menunjuk, karena KPU-nya sebagian besarnya diisi oleh perwakilan partai-partai. Hal ini bisa menjadi gambaran atau perbandingan, ketika era KPU diisi oleh ‘orang-orang baik’ melalui proses-proses tertentu, dengan ketika hasrat vs hasrat berkembang dalam KPU melalui perwakilan partai-partai. Hanya saja jika menilik lebih jauh, satu pesan: hati-hati saat berhubungan dengan bermacam birokrasi via kesekretariatan, yang dalam hal ini dari jajaran birokrasi Departemen Dalam Negeri, saat itu, di tahun 1999. Terlebih jika sudah menyangkut bermacam ‘pengadaan’ barang atau jasa. Karena itu juga sangat bisa terkait dengan masalah hasrat, ketika anggaran besar di depan mata. Banyak ‘lubang jebakan’-nya. Peringatan Alvin Toffler dalam Power Shift (1990) sangatlah relevan, yaitu ketika birokrasi bisa berkembang sebagai ‘invisible party’. Dan bayangkan jika ia ‘berkoalisi’ dengan ‘invisible party’ lainnya: ‘partai telik sandi’. Tetapi lepas dari itu, nampaknya hasrat vs hasrat itu bisa berjalan dengan baik. Mungkin ada yang bilang, checks and balances di internal KPU bisa berjalan dengan sebagaimana mestinya, saat itu.

Maka rute hasrat vs hasrat bisa dikatakan sebagai penjaga utama dari kotak Pandora, katakanlah supaya kegilaan hasrat tidak keluar menari dengan bebasnya. Mungkin benar juga yang pernah disinggung oleh Mangunwijaya, kualitas hidup bersama akan sangat dipengaruhi bagaimana kuasa dikelola. Kuasa sebagai salah satu ‘hasrat utama’ yang bahkan menurut Hobbes, akan dibawa sampai ajal menjemput. Atau yang pernah dikatakan oleh Nietzsche soal ‘will to power’ itu. Atau lihat misalnya di jalan-jalan, bagaimana perilaku pengendara adalah cerminan juga dari gejolak hasrat. Jika ada yang kemudian bilang bagaimana ber-lalu-lintas itu juga menunjukkan kualitas hidup bersama, ada benarnya juga.

Selain soal check and balances yang semakin tertatih-tatih, terganggunya kewarasan negara sedikit banyak bisa diraba ketika bermacam gejala menampakkan diri: hasrat yang banyak terlalu sering dikalahkan oleh hasrat yang sedikit. Ingat, ketika banyak warga Roma panik ketika hasrat hidup terancam oleh terbakarnya kota Roma, satu orang malah main kecapi, Nero. Atau sedikit orang sedang menari di sekitar dendang kecapinya Nero. Dan itu adalah karena check and balances yang lumpuh, salah satunya. Atau ‘sihir’ dalam bermacam rutenya. ‘Sihir’ trickle down effect, misalnya. Atau ‘sihir’ pembangunanisme, ‘sihir’ infrastrukturisme, ‘sihir’ survival of the fittest, ‘sihir’ pasar swatata, ‘sihir’ kita hebat, dan seterusnya. Tentu juga termasuk seperti sudah disinggung di bagian 1, ‘sihir’ orang baik itu. Maka meski tidak mudah, melawan bermacam ‘sihir’ itu tentu perlu berkembangnya nalar. Masalahnya ‘mereka’ bukannya tidak tahu bahwa salah satu ‘musuh’ tangguhnya itu adalah nalar, maka sadar atau tidak, kadang yang ditebar adalah ‘anti-sains’. Asal ngotot, asal njeplak, asal mangap, saat diskusi bahkan jika perlu pakai tudang-tuding seakan tidak punya etika lagi. Salah satu peran buzzerRp adalah di ranah ‘anti-sains’ ini. Maka emosi-pun menjadi mudah diaduk-aduk. ‘Jeda’ nalar itu semakin sempit saja. Kewarasan negara itu menjadi sangat terganggu ketika ‘kejahatan logika’ dan ‘kejahatan hasrat’ semakin merajalela. Tanpa ada lawan yang tangguh lagi. *** (10-05-2022)

Negara Dan Kewarasannya (2)