www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

23-05-2022

Bagian 2

Indonesia ra butuh wong ngganteng,[1] demikian tulisan di kertas yang  ditempel di bak belakang sebuah mobil pick-up, melintas di suatu siang di depan Toko Ada Jl. Majapahit Semarang. Geli, sepertihalnya ketika menjumpai bermacam ekspresi yang sering ada di bak belakang truk. Macam-macam. Tetapi ketika sampai di rumah dan membuka internet, nampaknya tulisan itu tidak muncul tiba-tiba saja. Seorang petinggi DPR -sekaligus petinggi partai, terberitakan di depan anggota partainya menyinggung soal ganteng-gantengan ini. Repot memang ketika politik terus menjadi urusan ganteng atau kurang ganteng. Tetapi apa boleh buat, bahkan seorang dengan jabatan setinggi itupun masih tega-teganya menyinggung soal itu. Apakah tidak boleh? Tentu tidak dilarang, tetapi buat apa?

Baru-baru ini si-tukang survei BM bicara soal ‘teori pendulum’. Dengan juga tidak lupa memaparkan hasil surveinya. Sik-J itu dulu adalah anti-tesisnya sik-S, begitu kira-kira teori pendulum-nya mau bicara. Lalu ke depan, akankah muncul anti-tesis sik-J? Pertanyaan berlanjut. Apakah pendulum akan bergeser ke arah lain? Tidak salah-salah amat teori pendulum itu. Munculnya The Police dan bagaimana ia mendapat sambutan meriahnya, nampaknya juga tidak lepas dari sudah penuh sesaknya ranah rock dengan segala kerumitan a la Genesis awal, Yes, atau Pink Floyd itu. Di era 1970-an, awal 1980-an. Dan juga naik-turunnya sapuan bermacam ‘selera’. Dalam banyak hal, kapitalisme memang bekerja seperti itu. Bau-bau creative destruction yang banyak terefleksi pada naik-turunnya ‘selera’ konsumen. Selera pasar.

Masalahnya adalah, bagi si-tukang survei, dibalik segala ‘kemegahan’ metodologisnya, pertanyaan-pertanyaan dalam survei itu sendiri sudah juga ber-‘selera’. Untung saja saat merancang surveinya, BM dkk itu tidak minta masukan dari si-Mbak yang ‘anti-orang-ganteng’ itu. Coba kalau minta saran dulu, bisa-bisa selain pintar, jujur, dan sejenisnya itu, jangan-jangan masuk itu barang: pertanyaan soal ganteng dan kurang ganteng. Efeknya bisa dahsyat, bisa muncul GIHTWN, atau ‘gerakan indonesia hebat tanpa wong ngganteng’. Indonesia ra butuh wong ngganteng, cuk. Repot. Merepotkan karena ini bukanlah soal rock dan jenis yang sedang digandrungi. Ini adalah soal diujung sana: undang-undang, peraturan dibuat, soal naik-turunnya pajak, soal siapa jadi panglimanya angkatan bersenjata, kepala kepolisian, sampai dengan pembuatan anggaran. Soal sampai berapa boleh ber-utang. Ijin dan tidak diijinkan impor. Atau ekspor. Soal bagaimana tanah dan laut yang membentang selebar daratan Eropa itu, bagaimana itu dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran warga. Soal bagaimana mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan banyak lagi. Atau yang mengerikan: porak-porandanya Ukraina karena kegilaan politik.

Opini publik bisa dikatakan sebagai pusat gravitasi dari demokrasi. Masalahnya adalah bagaimana rekayasa dari opini publik itu ada dalam rentang yang sangat lebar. Dari yang ‘lurus-lurus’ saja sampai pada tingkat manipulasi vulgar. Maka ‘industri opini publik’-pun berkembang, paling tidak sejak bagian awal abad 20. Sayangnya, sebagian besarnya berkembang karena soal fulus. Dan dalam ranah kapitalisme, itu sah-sah saja, dan bahkan kemudian ada yang menyebut: ‘rasional’. ‘Rasional’ dalam tindakan ekonominya karena menempatkan ‘kepentingan diri’ di atas segalanya. Sayangnya menurut Platon, ‘kelas pedagang opini publik’ ini janganlah diminta untuk ‘cinta tanah air’, misalnya. Yang menyesaki otaknya adalah uang dan untung. Bahkan soal ‘metodologi ilmiah’-nyapun akan siap ditelikung habis-habisan demi uang besar di depan mata. Mungkin karena semacam ini jugalah Adam Smith –bapaknya kapitalisme itu, masih menganggap perlunya para pelaku pasar itu memiliki semacam ‘keutamaan’, meski itu sekedar ‘sepantasnya’ saja. Tentu juga termasuk para pelaku di ‘industri opini publik’ ini. Semestinya. Sayangnya, fakta hari ini menunjukkan banyaknya yang telah mengubur ‘keutamaan’ (virtue) itu dalam-dalam, bahkan yang sekedar ‘sepantasnya’ saja ikut-ikutan dikubur. Jika yang seperti ini berkembang menjadi dominan, maka bisa-bisa kewarasan menegara-pun akan semakin terganggu.

Jika ada yang membedakan antara negara-pasar-masyarakat sipil, maka ‘industri opini publik’ ini sebenarnya lebih ada di ranah pasar. Suka atau tidak. Ranah pasar yang maunya menggelitik terus ranah negara. Dan itu boleh-boleh saja, termasuk juga bagaimana ranah masyarakat sipil itu diharapkan juga terus menggelitik ranah negara. Maka masalahnya adalah, apakah ranah negara itu mau-mau saja didikte oleh ranah pasar? Tentulah negara tidak boleh buta dan tuli terhadap dinamika di ranah pasar dan masyarakat sipil. Melihat dan mendengar bukan berarti terus menyerahkan diri untuk didikte. Demikian juga sebaliknya. Dalam konteks tulisan ini, maka segeralah nampak peran dari partai politik, yang sebenarnya ia ada di ranah negara. ‘Teori pendulum’ semestinya adalah soal kebijakan-kebijakan yang keluar dari partai-partai politik. Dan itu bukanlah sekedar ayunan ke kanan-kiri, atau ke barat-timur’ atau ke utara-selatan, yang berakhir ‘sama-tinggi’. Lebih dari itu. *** (23-05-2022)

 

[1] ‘Indonesia tidak butuh orang ganteng’

Negara Dan Kewarasannya (3) Bag. 2