www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-05-2022

Menjelang 1 Juni Pancasila menjadi lebih banyak dibicarakan. Tidak masalah, meski sebenarnya diharapkan berlanjut pada kebijakan-kebijakan negara. Latar belakang yang memberikan pengaruh besar dalam alam pikiran para founding fathers saat itu kiranya bisa dirangkum dalam dua hal, soal kemerdekaan dan keserakahan. Atau di balik kemerdekaan ada ide soal kebebasan. ‘Tegangan’ yang terjadi antara kebebasan dan keserakahan itu ‘dijembatani’ dalam bermacam sila, tetapi yang utama adalah ‘jembatan hikmat kebijaksanaan’. ‘Hikmat kebijaksanaan’ ini tidak hanya secara langsung berhubungan dengan ‘nafas kerakyatan’, tetapi juga soal dalam hal berketuhanan, berperikemanusiaan, keperadaban, kebersatuan, dan dalam upaya mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Fides at ratio, ‘hikmat kebijaksanaan’ itu justru akan semakin mendorong dalam upaya mempertebal iman misalnya, dan sekaligus juga merawat anugerah paling berharga manusia: kemampuan timbang-menimbang. Iman dan ‘hikmat kebijaksanaan’ laksana dua sayap yang akan selalu mendorong manusia mencari kebenaran.

Greed is good,” demikian Michael Douglas yang memerankan Gordon Gekko dalam film Wallstreet (1987) –tujuh tahun setelah ‘thachernomic’ dan ‘reagenomic’ mulai menggeliat kuat. Penganut kapitalisme mungkin akan segera setuju dengan ini, tetapi tidak semua setuju untuk memakai kacamatanya para pendukung neoliberalisme. Sebab bagaimanapun, keserakahan adalah ‘tendo achilles’ dari kapitalisme. Tetapi bagi kaum neolib, logika pasar itu tidak hanya merupakan bagian dari kehidupan, tetapi kehidupan dalam bermacam aspeknya itu adalah ‘bagian dari pasar’. Maka negara-pun tidak boleh mengganggu dinamika pasar. Negara yang ideal adalah yang ‘ultra-minimal’. Jika mengambil term Cardoso, kaum neolib sedang berimajinasi bahwa kapitalisme betul-betul telah menguasai ‘pakta dominasi primer’.

Maka jika negara ingin berjalan berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, ada di alinea 4 Pembukaan UUD 1945, dalam praktek ia akan selalu dalam ketegangan dengan ‘pakta dominasi primer’ ini, kapitalisme. Jika ia ‘kalah’ maka ia akan berjalan layaknya zombie, seakan berdaulat tetapi dalam praktek ‘pakta dominasi’-nya adalah sekedar ‘sekunder’. Tetapi di satu pihak ia akan selalu ada di ‘kubu’ kebebasan, pendukung utama dalam hal kemerdekaan. Maka ‘hikmat kebijaksanaan’ merupakan ‘syarat mutlak’ meski memang belumlah ‘mencukupi’. Dalam praktek, ‘hikmat kebijaksanaan’ yang berulang dan berulang ‘lulus ujian’ maka bisa terhayati sebagai sebuah komitmen. ‘Ujian’ itu adalah ketika ‘kata’ harus berhadapan dengan ‘tindakan’. Membicarakan Pancasila kemudian ibarat meniti benang tegang yang ditarik oleh ide akan kebebasan dan fakta adanya keserakahan. Bagi Hayek dkk, kebebasan adalah mutlak, karena dengan itu pula keserakahan bisa menunjukkan potensi maksimalnya. Keserakahan yang sering diperhalus sebagai ‘kepentingan diri’ itu, self interest.

Jika term ‘kanan dan kiri’ dipakai, maka nilai-nilai yang ada dalam Pancasila itu menginginkan untuk selalu ada di ‘kiri’ ketika jalan kapitalisme ditapak. Negara dalam kebijakan-kebijakannya mesti mengambil posisi di ‘kiri’ apapun pergeseran yang berkembang, dalam arti ia akan selalu berusaha memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, selain juga tentu melindungi bangsa dan segala tumpah darah. Dan juga ikut aktif mendukung kebebasan, perdamaian, dan keadilan sosial. Reformasi pada dasarnya menginginkan negara yang ingat kembali misi adanya. Pembatasan masa jabatan presiden misalnya, adalah juga untuk membentengi keserakahan di ‘basis’ yang bisa-bisa berkecamuk begitu dahsyatnya. Ketika keserakahan di ‘basis’ itu mendikte kebijakan-kebijakan negara maka bisa dipastikan misi adanya negara yang terhayati dalam polah-tingkah pemerintahannya, akan semakin kabur. Semakin kaburnya misi negara akan membuat semakin rapuhnya juga nilai-nilai yang mendasarinya: Pancasila. Mau pecah karena serakah? Jelasnya, misal: mau perpanjangan jabatan atau mau tiga periode, itu adalah keserakahan yang sudah mendikte negara. Rusak. Rusak karena sudah tidak ber-‘hikmat kebijaksanaan’ lagi. Samasekali jauh dari keutamaan prudence. Tidak paham apa yang sedang dipertaruhkan. *** (30-05-2022)

Pecah Karena Serakah