www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

28-05-2022

Bagian 3

Lisa M. Hoffman, Associate Professor dari Urban Studies Program University of Washington Tacoma menulis buku dengan bahasan menarik: Patriotic Professionalism in Urban China (Temple University Press, 2010). Dengan anak judul tak kalah menariknya: Fostering Talent. Tetapi kita juga bisa mengendus bau judul itu di Amerika Serikat sekitar 150 tahun lalu, yaitu ketika ‘spoil system’-nya Andrew Jackson itu di-suspend, ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan penerapannya lagi. Hanya presiden ‘kucluk’ saja yang mau menghidupkan lagi, Donald Trump di bulan-bulan terakhir jabatannya. ‘Spoil system’ itu maunya semua diambil oleh pemenang pemilihan, tanpa kecuali. Banyak jabatan yang sebelumnya mensyaratkan kualifikasi tertentu, atau merupakan jabatan karir karena prestasi, dengan ‘spoil system’ maka jabatan-jabatan itu bisa diisi oleh para pendukung saat pemilihan –jika menang. Tanpa melihat lagi kualifikasi atau jejak prestasinya. Maka merebaklah inkompetensi, juga ujung-ujungnya: korupsi, kolusi, nepotisme. Dengan di-suspend-nya ‘spoil system’ itu maka meritokrasipun kembali punya ‘gelanggang’ pentingnya. Punya klaster-klasternya sendiri yang mesti terus dijaga. Dalam hidup bersama, ini sangat penting untuk menjaga ‘keseimbangan’. Dan sebenarnya juga dapat sebagai ‘patok duga’ sehingga politik tidak terus menjadi ugal-ugalan tanpa batas lagi. Tetapi nampaknya keputusan politik itu dapat terlaksana juga bukannya tanpa ‘latar belakang’. Selain beberapa negara maju saat itu juga sudah menghapus ‘spoil system’, di bagian akhir abad 19 itu mulailah merebak sekolah-sekolah bisnis di AS sana, atau kalau sekarang kita kenal sebagai MBA itu. Yang mau disampaikan di sini adalah, berkembangnya profesionalisme itu tidaklah ada di ruang kosong. Dan ruang itu menjadi tidak kosong karena di dalamnya bersemayam dinamika kultural dan struktural. Atau kalau mengambil contoh ‘cerita’ di atas, merebaknya sekolah-sekolah bisnis itu membayangi lekat keputusan men-suspendspoil system’. Dan juga ‘struktur-struktur’ yang lebih luas –relasi-relasi internasional, ikut mendorong.

Relasi-relasi internasional yang melampaui batas-batas negara-bangsa itu nampaknya tidak hanya ‘ikut’ mendorong, tetapi bisa-bisa sebagai driving force utama. Pada awal abad 19 –sebelum ‘spoil system’-nya Andrew Jackson itu merebak, Hamilton di AS sono dengan logika infant industry-nya mengolah relasi internasional itu dengan tarif demi melindungi industri dalam negeri. Yang menurutnya masih infant. Perjumpaan-perjumpaan dengan bermacam komunitas internasional itu semakin memperluas horison, dan tiba-tiba saja juga membangun kesadaran pula bahwa ‘kematian’ itu bisa datang dari bermacam penjuru. Dari kalah bersaing dengan komunitas lain, sampai dengan konsekuensi jika spoil system itu tetap dipertahankan. Sistem yang terus menggerogoti profesionalisme dengan semakin merebaknya in-kompetensi, korupsi, kolusi, dan nepotisme. ‘Kematian’ bisa karena ‘ancaman’ dari luar maupun dari dalam.

Pilihan antara pendekatan ‘kultural’ dan ‘struktural’ ini bukanlah soal telur dan anak ayam, tetapi lebih pada daya ungkit, mana yang berdaya ungkit lebih kuat. Dari catatan-catatan sejarah, struktur-struktur relasi kekuatan produksi nampaknya yang berdaya ungkit lebih besar. Bahkan pada satu titik ia bisa menentukan nuansa kultural yang berkembang. Tetapi jika kita menelusuri perjalanan neoliberalisme yang di-booster oleh Thatcher dan Reagen, maka bagaimanapun upaya Hayek dkk yang dimulai sekitar 30 tahun sebelumnya haruslah disebut. ‘Fides et ratio’, ‘iman’ akan survival of the fittest itupun harus didampingi oleh ‘nalar’ yang dikembangkan oleh Hayek dkk, dan penerusnya. Tidak ‘waton suloyo’ saja. Maka ketika Thatcher sudah di puncak struktur kekuasaan, iapun kemudian memantapkan hati untuk merubah ‘jiwa’ dan ‘hati’ warganya supaya ‘kompatibel’ dengan ‘iman’ dan ‘nalar’ neoliberalismenya. Atau kalau meminjam kata yang menjengkelkan itu, Thatcher sedang memulai ‘revolusi mental’-nya melalui kebijakan, keputusan politik serta eksekusinya. Dan itu kita bisa melihat berjalan tidak dengan damai-damai saja. Kekukuhan Thatcher menghadapi situasi yang tidak damai-damai saja, mungkin itu kemudian ia disebut Iron Lady. Dan tidak usah disebut di sini, keberhasilan Thatcher adalah juga karena ia mampu menjaga diri sebagai sosok ‘famous sect’, meminjam istilah Adam Smith.

Dua tahun lagi, tepat 50 tahun setelah Koentjaraningrat menulis kelemahan-kelemahan dalam pembangunan, (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) sifat mentalitas yang suka menerabas, (3) sifat tak percaya kepada diri sendiri, (4) sifat tak berdisiplin murni, dan (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.[1] Hampir 50 tahun kemudian, kita punya pemimpin yang suka lempar-lempar bingkisan ke rakyatnya, yang suka ngibul sana ngibul sini, bahkan pernah mengaku ia tidak membaca apa yang ditanda-tanganinya. Atau yang terakhir, tidak tahu bahwa ada upaya merubah undang-undang tentang pendidikan yang dilakukan bawahannya. OMG! *** (02-06-2022)

 

[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, 1985, cet-12,hlm. 45

Negara Dan Kewarasannya (4) Bag. 3