www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-06-2022

Buku Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan terbit pertama kali tahun 1974. Dan setelah itu mengalami cetak ulang berkali-kali. Demikian juga karya Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, meski kalah jauh dari jumlah cetak ulangnya. Demikian juga bermacam tanggapan, polemik terus berkembang saat itu. Dan kita yakin bahwa Koentjaraningrat, Mochtar Lubis, atau yang terlibat dalam pengembangan isu sungguh didorong oleh keinginan besar memajukan hidup bersama. Tetapi dalam waktu kurang lebih beriringan, ada yang bekerja dengan sangat serius soal ‘penyederhanaan partai’. Dan kita bisa melihat ‘program penyederhanaan’ partai ini telah berhasil ‘mengawal’ rejim jaman old itu selama 32 tahun. ‘Penyederhanaan partai’ juga harus dilihat dari figur sentralnya, Soeharto. Ada yang mengatakan, jika anda ‘cukup kuat’ maka power di sekitar anda cukuplah terbagi pada sedikit saja. Tetapi jika ‘tidak cukup kuat’ maka power di sekitar anda harus dibagi dalam jumlah yang cukup banyak. Tentu ada ‘nuansa lain’ yang menjadi ‘semangat jaman’ yang dengan itu pula keputusan kemudian dibuat. Apa yang mau dikatakan di sini adalah, soal-soal ‘kultural’, moral, etika, dan sekitarnya tentu akan selalu menarik untuk dibicarakan. Tetapi mengapa keprihatinan Koentjaraningrat 50 tahun lalu itu seakan masih relevan dibicarakan? Kembali, dengan segala keprihatinannya? Empatpuluh tahun setelah buku Koentjaraningrat terbit, muncul istilah ‘Revolusi mental’ di tengah-tengah hiruk pikuk pemilihan umum, termasuk tentunya pemilihan presiden. Dan adakah yang kemudian serius bekerja terkait dengan ‘penyederhanaan partai’, dalam bentuk lainnya?

Universitas Cornell di Amerika sono sejak 1966 menerbitkan sebuah jurnal tentang Indonesia, dan nama jurnalnya: Indonesia. Kalau tidak salah, terbit setahun dua kali, dan dalam satu terbitannya ia selalu memaparkan analisis tentang TNI, terlebih siapa-siapa yang akan menanjak karirnya. Rutin. Apakah itu sebuah ‘analisis akademik’ atau sebuah ‘scenario writing’ biar menjadi perdebatan ahlinya. Apapun itu faktanya adalah, 32 tahun itu pilar utama penyangga rejim adalah: militer. Yang perlu dicatat di sini adalah, terlebih di awal-awal jaman old itu, katakanlah 10 tahun pertama, suka atau tidak, peran kaum teknokrat yang memang banyak teruji integritasnya –dalam bidangnya, mampu memberikan ‘keseimbangan’ tersendiri. Dan dari bermacam catatan kita bisa melihat, apapun itu, kemajuan dibandingkan jaman old-old memang bisa dirasakan.

Tentu korupsi, pemburuan rente sudah ada di jaman old-old. Tetapi dari bermacam sumber, soal konsensi hutan itulah kemudian pemburuan rente terus mengalami ‘momentum-besar’-nya. Momentum yang terus membesar yang akhirnya menggusur ‘nuansa teknokratis’ itu menjadi lebih bernuansa ‘oligarki’. Rejim perlahan mengalami pembusukan. Mengambil istilah Jeffrey Winters, berkembanglah ‘oligarki-sultanistik’ itu. Bagaimana dengan jaman now? Nampaknya di samping karya Guy Debord untuk lebih memahami bermacam nuansa yang berkembang, tetap saja ada tuh ‘ensiklopedia’ yang disusun di jaman old itu. Ada di samping dan dipegang erat-erat. Dan akankah buku Koentjaraningrat, 50 tahun lagi dari sekarang masih saja relevan dibaca? Katakanlah, apakah kita masih bicara lagi soal (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) sifat mentalitas yang suka menerabas, (3) sifat tak percaya kepada diri sendiri, (4) sifat tak berdisiplin murni, dan (5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh? *** (18-06-2022)

Pada Awalnya Adalah 'Revolusi Mental' (4)