www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

10-07-2022

Charles de Gaulle mengajak rakyat Perancis untuk bersama bangkit dari porak-porandanya Perang Dunia II, dengan berseru: “Perancis tanpa kehormatan, bukan Perancis!” Untuk bangkit dari porak-porandanya hidup bersama karena ulah para oligark nan serakah itu, para pemburu-rente, para koruptor, para buzzerRp, para pollserRp, para politisi-dengan-gangguan-jiwa, para sosiopat, mengapa kita tidak juga berseru lantang :“Indonesia tanpa kehormatan, bukan Indonesia!”

Apakah Mochtar Lubis hampir 50 tahun lalu itu benar bahwa manusia Indonesia itu cenderung hipokrisi? Munafik? Itu 50 tahun lalu, tetapi benarkah sekarang masih saja seperti itu? Ketika tidak berkuasa menangis-nangis saat BBM naik, tetapi setelah berkuasa menaikkan BBM berkali-kali. Atau juga soal subsidi itu. Katanya demi wong cilik, setelah berkuasa ternyata lebih berpihak pada yang ‘gedhe-gedhe’. Lalu dibisikilah mereka-mereka itu oleh para ‘misionaris’ real-politik: politik ya gitu itu ... Kalau memang orang Indonesia itu cenderung hipokrisi, ya hipokrisi tidak masalah, katanya. Sayang, faktanya begitu. Maka pertanyaannya, kapan kita maju? Mengapa bermacam ‘kelemahan’ dalam hidup bersama itu justru seakan malah dilanggengkan. Dan itu kemudian menjadi sah karena politik ya gitu itu ..., itulah politik yang real, kongkrit bukan yang ada di angan-angan saja. Tetapi yang ‘kongkrit-kongkrit’ itupun tidak semua dibuka, misal pertanyaan kongkrit: siapa yang secara kongkrit paling diuntungkan oleh politik seperti itu?

Terhadap pertanyaan seperti itu, berkotbahlah para ‘misionaris’ pasar bebas :“Itu rasional!” Dengan argumentasi yang ketat, dibuktikanlah bahwa pengejaran kepentingan diri itu adalah hal rasional. Bahkan, satu-satunya. Tetapi Amartya Sen tidak langsung setuju, ia berpendapat –dengan argumentasi ketat juga, bahwa yang namanya komitmen itupun juga rasional. Dan soal komitmen ini bisa kita hayati, katakanlah masihlah saudara dekat dengan soal kehormatan itu. Bahkan bisa dikatakan, kehormatan tidak akan ada jika komitmen tidak dikenal. Orang-orang yang miskin akan komitmen itu janganlah diharapkan untuk ber-perilaku secara terhormat. Atau menjaga kehormatan dalam hidupnya. Terhadap dua agumentasi di atas, sama-sama ‘ketat’-nya, maka kita boleh mengambil kesimpulan, dalam hidup bersama, jika pasar akan digunakan sebagai ‘pembagi utama kesejahteraan’ –bukan satu-satunya, maka sangat mutlaklah juga soal komitmen itu hadir. Atau jika memakai istilah Adam Smith, famous sect, si-sekte agung itu tetaplah diperlukan kehadirannya. Orang-orang dengan keutamaan lebih dari yang sekedarnya saja.

Tetapi dalam soal kuasa, atau dalam konteks pemegang kekuasaan dan oposisinya, ber-keutamaan ‘lebih dari sekedarnya’ itu bukanlah soal mengharapkan ‘si-ratu-adil’ datang. Terlalu banyak mengharapkan si-orang baik bisa-bisa tengah berjudi habis-habisan. Apalagi jika si-‘orang baik’ itu ternyata bisanya hanya nipu saja. Akan sungguh merepotkan, dan bisa-bisa akan membawa hidup bersama masuk jurang kehancuran saja. Mungkin karena itulah kita mengenal adanya sangsi sosial. Tetapi bagaimana sangsi sosial ini bisa efektiff terhadap si-pemegang kuasa ketika komunitas masuk dalam golongan power-distance tinggi? Dimana komunitas dengan power-distance tinggi itu akan melihat orang-orang yang berkuasa itu sebagai yang ‘serba putih’? Sehingga tidak mudah untuk ‘usil’ atau mempertanyakan bermacam keputusannya? Tetapi benarkah ‘paradigma’ power distance tinggi itu terus tidak memungkinkan ‘perlawanan’ terhadap kuasa? Bukankah sudah ditunjukkan Gramsci bahwa lahirnya kaum intelektual organik itu dimungkinkan? Ataukah paling tidak kita bisa mulai untuk tidak terjebak elusan antara real-politik dan ideal-politik, tetapi kepada laku tidak terhormat kita geser penghayatan kita, bukan soal real-politik atau ideal-politik lagi, tetapi itu bukan Indonesia. Karena Indonesia tanpa kehormatan adalah bukan Indonesia! Mengapa tidak membangun ‘cerita’ Indonesia yang berangkat dari kehormatan? *** (10-07-2022)

Indonesia Tanpa Kehormatan, Bukan Indonesia!