www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-07-2022

Tetapi apakah ‘dunia olah mental’ itu bisa jatuh pada ‘dunia sewenang-wenang’? Meyakinkan diri sendiri bahwa yang sebenarnya nyata adalah yang ada dalam pikiran. Atau bukan itu? Tetapi batu, hewan, cuaca dalam ‘dunia-1’ popperian itulah yang nyata. Pikiran hanyalah ‘menangkap’ hal-hal tersebut. Tidak lebih dari itu. Ataukah ‘dunia olah mental’ atau katakanlah kesadaran itu, sebenarnya adalah sadar akan sesuatu? Bukannya kosong yang siap diisi dengan apapun? Dan sebenarnya, entah itu batu, hewan, cuaca, bahkan manusia, mimpi-mimpinya, itu juga menampakkan diri pada kesadaran (manusia) dengan ‘cara-cara khas’-nya? Sehingga ‘dunia olah mental’ itu sebenarnya tidak bisa sewenang-wenang lagi. Gunung Merapi misalnya, saya lihat dari Muntilan ia akan menampakkan sisi tertentu, akan ‘memberikan’ dirinya pada saya dengan penampakan lembah-lembah tertentu. Tetapi meski A dan B berdiri di tempat sama, penghayatan bisa beda-beda. Yang satu melihat bermacam potensi kesuburan, yang lain mendapat penghayatan betapa ngerinya jika awan panas meluncur di sisi lembah itu. Jika dua pelukis duduk di tempat sama, bisa-bisa juga akan ada dua lukisan yang sangat berbeda penampakannya. Atau sama-sama gerakan melempar batu, bisa berbeda antara pelukis satu dengan lain bagaimana menampakkannya dalam lukisan. Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan (1988, hlm. 22) mencontohkan perbandingan dengan baik antara lukisan di vas keramik kuno Yunani dengan lukisan J. Miro. Atau buku sama kita baca saat mahasiswa, bertahun setelah lulus kuliah, atau saat di puncak karir, mungkin yang akan di-‘stabilo’ akan berbeda. Dan menurut Van Peursen, mengapa itu menjadi berbeda karena memang berbeda sikap dasar-nya. Van Peursen membedakan tiga sikap dasar: mitis, ontologis, dan fungsionil.

Buku Strategi Kebudayaan karangan Van Peursen adalah hasil terjemahan Dick Hartoko, dengan Prakata dari Soedjatmoko, tertanggal 7 Februari 1976 -46 tahun lalu. Prakata dari Soedjatmoko kami kutipkan sebagiannya: “Berpangkal pada teori informasi Van Peursen melihat kebudayaan sebagai siasat manusia menghadapi hari depan. Dia melihat kebudayaan itu sebagai proses pelajaran, suatu “learning proccess”, yang terus-menerus sifatnya. Di dalam proses ini bukan saja kreativitas dan inventivitas merupakan faktor penting, melainkan kedua faktor ini kait-mengait dengan pertimbangan-pertimbangan ethis. Tanpa penilaian ethis ini manusia tidak dapat mengambil tanggung jawab untuk keadaannya, untuk tekhnologi yang dipakai dan perkembangannya, maupun untuk struktur-struktur sosial dan bentuk-bentuk orgnisasinya. Bahkan baginya penilaian-penilaian ethis ini membuka mata manusia untuk melihat kemungkinan-kemungkinan baru yang melampaui keadaan yang ada, dan inilah dilihatnya sebagai jalan manusia ke arah pertanggungan jawab penuh sebagai manusia yang bebas dan dewasa.[i]

Bagaimana jika kutipan dari Soedjatmoko kita baca dari ‘belakang’, dan kita tambahkan kata ‘tidak’ sebelum ‘bebas’ dan ‘dewasa’? Apakah ‘ke-tidak-bebas-an’ dan ‘ke-tidak-dewasa-an’ -terlebih pada sosok seorang pemimpin, akan mempengaruhi suatu ‘proses pembelajaran’? Akan mempengaruhi ‘kreativitas’ dan ‘inventivitas’? Dan lebih dari itu, akan mempengaruhi ‘pertimbangan-pertimbangan etis’-nya? Sebab dalam ‘siasat manusia menghadapi hari depan’ melalui kebudayaan, dan jika berangkat dari pembedaan Van Peursen, mitis, ontologis, dan fungsionil, dalam praktek memang akan penuh dengan ‘pertimbangan-pertimbangan etis’-nya. Sebab dalam setiap ‘tahap’ sikap dasar itu akan ada sisi-sisi negatifnya, tahap mitis misalnya, segi negatif itu adalah praktek magi –‘ilmu sihir’. Tahap ontologis, sisi negatifnya adalah substantialisme, yaitu usaha menjadikan manusia dan nilai-nilai semacam benda, barang-barang atau substansi-substansi yang terpecah, lepas yang satu dari yang lain. Dalam tahap fungsionil, sisi negatifnya adalah operasionalisme, kita saling memperlakukan diri sebagai buah-buah catur, nomor-nomor dalam seberkas kartu-kartu arsip. Manusia sekedar sekrup dalam sebuah mesin raksasa.[ii]

Dari beberapa hal di atas, jika mengambil cuplikan Prakata Soedjatmoko di atas, bisa diraba bahwa kata kunci-nya adalah: ‘bebas’ dan ‘dewasa’. Jika kita kemudian membayangkan sosok seorang pemimpin, hanya pemimpin yang ‘bebas’ dan ‘dewasa’-lah yang akan mampu mengajak yang dipimpinnya untuk mengarungi ‘siasat kebudayaan’ demi masa depan lebih baik. Pemimpin yang ‘tidak bebas’, apalagi kualitas boneka-kacung, dan jauh dari ‘dewasa’, katakanlah yang antara lain terlihat dalam penampakan suka lempar-lempar tanggung jawab, atau tidak membaca apa yang ditanda-tanganinya, ia sebenarnya hanya akan membuat ‘strategi kebudayaan’ jalan di tempat, bahkan sangat mungkin berjalan mundur. Mengapa? Karena hilangnya kemampuan dalam ‘pertimbangan-pertimbangan etis’-nya justru bermacam sisi negatif-lah yang berkembang –(atau dikembangkan?), dari soal ‘ilmu sihir’, substantialisme, sampai dengan operasionalisme, jika memakai pendapat Van Peursen di atas. Atau dalam bahasa jaman now, rakyat kebanyakan hanyalah sekrup-sekrup saja dari mesin raksasa-nya kaum oligark itu. Hampir semua elit partai itu hanyalah buah-buah catur dari mesin raksasa-nya kaum oligark. Maka menjadi semakin jelas saja, ada satu hal yang hilang dalam sebuah ‘peradaban kita’: empati. ‘Orang baik’ itu memang pada dasarnya hanya merusak saja! *** (25-07-2022)

 

[i] Van Peursen, Strategi Kebudayaan, Penerbit Kanisius, 1988, edisi ke-2, hlm. 5-6

[ii] Ibid, hlm. 22-23

 

Tiga 'Pertempuran' (3)