www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

27-07-2022

Apakah sains bisa sebagai ‘model’? Ataukah sains sebagai ‘pihak ketiga’? Atau sebagai ‘penengah’? Atau bahkan sebagai ‘tirai asap’? Ataukah juga sebagai ‘palu godam’? Yang akan kompatibel dengan ungkapan ‘man/woman behind the gun’ itu? Bagaimana peran sains misalnya, dalam ‘crime scene investigation’ yang sering nampak dalam serial televisi? Atau bagaimana sains diperlakukan oleh pollsterRp dalam survei-surveinya? Atau dimana beda antara sosialisme utopia dan sosialisme ilmiah? Sebelum Barat menjadi dominan, China dan India-lah yang dominan jaman doeloe sekali, apakah ada peran sains dalam pergeseran ini? Tetapi mengapa harus muncul berita soal renovasi ruang rapat BRIN komplit dengan tempat tidurnya? Atau berita si-ini-si-itu dapat gelar doktor kehormatan dengan ‘mudah’-nya? Gelar doktor-kehormatan yang seakan sudah ‘diobral-murah’? Atau dalam menghadapi pandemi, mengapa keputusan politik kadang begitu saja mengabaikan saran dari sains. Termasuk juga perilaku elit-elitnya? Atau seorang petani di pojok desa berhasil dalam ‘pemurnian varietas’ kok malah ditangkap. Bahkan harus masuk ruang pengadilan! Atau argumentasi warga Wadas Purworejo itu kemudian dengan mudah dipinggirkan demi kepentingan modal.

Tetapi mengapa sains bisa berkembang menjadi kuatnya? Bahkan ketika di-jungkir-balikkan seperti yang dilakukan oleh para pollsterRp itu? Jika kita membayangkan suatu rute input-proses-output, sebagian besar dari kita adalah para ‘penikmat’ output. Tidak salah-salah amat karena memang hidup akan lebih banyak dijalani dengan rute taken for granted itu. Begitu saja dijalani, nggludung saja, menggelinding saja. Hidup akan penuh kerepotan jika apa-apa harus dipikir lebih dulu. Kita bangun, mandi, sarapan, berangkat kerja atau sekolah, sore pulang, bermain dengan anak, makan malam, tidur. Dan seterusnya. Kita bangun turun dari tempat tidur tidak perlulah berpikir kaki kanan dulu atau kiri dulu. Berangkat kerja, kita tak usah menelisik mengapa lampu merah kita harus berhenti. Tetapi tiba-tiba saja perhatian kita tersedot pada toko kecil yang biasanya sudah buka saat berangkat kerja, pagi itu tutup dan ada bendera kecil kuning di depan toko. Ada apa? Siapa yang meninggal? Atau tiba-tiba terdengar bunyi keras di seberang jalan. Ada tabrakan?

Sains tidak bekerja dalam nuansa taken for granted. Ia ‘berhenti’ sebentar, katakanlah kemudian mengajukan sebuah ‘hipotesis’ dan terus berusaha membuktikan dengan prosedur-prosedur tertentu. Apa yang mau disampaikan di sini adalah, sains menjadi kuat karena ia mempunyai ‘nuestro modo de proceder’, mempunyai ‘cara-cara bertindak’ yang ‘khas’. Dan terus dikembangkan. Maka sebenarnya, misal ada yang sedang menjalani studi doktoral, bukan hasil dari penelitianlah yang paling penting dalam proses pendidikan, tetapi apakah ia sudah paham dan menghayati betul ‘cara-cara bertindak’ dalam ranah sains itu, dalam level doktoral, misalnya. Jika ia sudah menghayati nuestro modo de proceder, setelah meraih gelar doktor-pun ia bisa diharapkan akan terus melakukan penelitian lanjutan, atau meneliti dengan fokus lain. Tidak ada yang akan membantah bahwa perkembangan sains ini telah memberikan kontribusi besar bagi berkembangnya kesejahteraan manusia. Tetapi ternyata sains jugalah yang membuat adanya bom atom itu dimungkinkan. Atau rudal-rudal antar benua, dan senjata pembunuh massal bertebaran di muka bumi. Juga senjata-senjata kimia, biologi. Mengerikan. Atau juga kedaruratan iklim seperti dirasakan di berbagai belahan bumi sekarang ini. Atau sebagai senjata pemusnah akal sehat seperti kelakuan para pollsterRp itu? Apakah kita cukup hanya berhenti dengan mengatakan bahwa bagaimanapun juga sains itu memang berwajah ganda?

Tetapi saat kita melihat ban sepeda motor kita kempis, apakah kita mesti mengajukan ‘hipotesis’ lebih dahulu sebelum meyakini kebenaran ban kempis di depan mata? Apakah penglihatan kita itu menjadi ‘tidak obyektif’ karena ‘taken for granted’ saja dan belum menjalani rute ‘cara bertindak’ sains? Dan karena itu maka kita sedang hidup ‘di luar realitas dunia’ karena bagi sementara pihak, dunia yang sebenarnya itu adalah yang obyektif menurut kaidah-kaidah sains? Ataukah sebenarnya ada dua ‘kebenaran’? Katakanlah, ‘the truth of correctness’ dan ‘the truth of disclosure’? Apakah kita mesti mengajukan ‘kategori’ lain: bukti (evidence)? Tetapi apa itu bukti atau evidence itu? Bukankah dengan segala ‘sedimentasi’ pengetahuan bertahun soal ‘ban kempis’, dan ketika perhatian tersedot pada sepeda motor dengan ban kempisnya maka bukankah itu adalah juga sebuah ‘perjalanan’ pembuktian sedang berlangsung?

Tetapi ketika ‘sedimentasi’ yang ngendon di otak itu mengatakan bahwa adanya jendela, pintu, dan tembok depan maka itu adalah rumah, ternyata bisa salah. Karena itu hanya nampak depan saja, sedang belakangnya kosong, karena itu adalah salah satu properti studio film. Kalau dalam ranah sains dengan segala prosedurnya: tidak terbukti. Maka kadang memang perlulah ‘menunda’ lebih dahulu segala ‘sedimentasi’ yang sudah ngendon dalam pikiran itu. Dan kita melihat ‘jendela, pintu, dan tembok’ itu sebagai ‘pemula’. Kita sebagai yang ‘pasif’ menerima bermacam penampakan yang diberikan oleh ‘jendela, pintu, dan tembok’. Kita lihat dari bermacam sisinya, bermacam aspeknya, bermacam profilnya. Dan dengan itu berkembanglah imajinasi soal rumah. Jika perlu kita komunikasikan imajinasi kita itu dengan imajinasi-imajinasi dari teman, atau orang lain. Siapa tahu itu semakin menguatkan keyakinan, atau bahkan justru bertolak belakang. Tidak masalah. Sebab memang kadang ‘sedimentasi’ itu bisa-bisa tertanam hal-hal ‘nakal’ atau ‘mbèlgèdès’. Atau sengaja ‘ditanam’ oleh pihak-pihak tertentu. Secara terus-menerus, dan berulang-ulang. *** (27-07-2022)

 

Tiga 'Pertempuran' (4)