www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-07-2022

Bahkan dalam komunitas dengan power distance (Hofstede) rendah-pun, seorang pemimpin akan berkontribusi besar dalam membangun ‘suasana kebatinan’ yang dipimpinnya. Apalagi dalam komunitas dengan power distance tinggi. Tetapi butterfly-effect itu tidak mengenal pembedaan power distance-nya manusia. Kepakan sayap kupu-kupu di hutan Amazon itu bisa mengakibatkan badai di bermacam belahan dunia. Tidak pandang bulu. Perubahan kecil di hutan Amazon itu bisa membuat hunian di ribuan kilometer jaraknya bisa porak-poranda. Atau kegilaan Putin ternyata membuat manusia-manusia lain di ujung dunia-pun merasakan akibat-pahit-nya. Atau diabetes mellitus yang tak terkendali, bisa menggerogoti bermacam organ penting tubuh.

Tetapi menurut Henry Kissinger, ‘semesta manusia’ –katakanlah peradaban, mempunyai ‘logika’ sendiri. Dalam sampul bukunya World Order (Penguin Press, 2014) ditulis oleh penerbit: “There has never been a true “world order,” Kissinger observes. For most of history, civilizations defined their own concepts of order. Each considered itself the center of the world and envisioned its distinct principles as universally relevant. China conceived of a global cultural hierarchy with the emperor at its pinnacle. In Europe, Rome imagined itself surrounded by barbarians; when Rome fragmented, European peoples refined a concept of an equilibrium of sovereign states and sought to export it across the world. Islam, in its early centuries, considered itself the world’s sole legitimate political unit, destined to expand indefinitely until the world was brought into harmony by religious principles. The United States was born of a conviction about the universal applicability of democracy—a conviction that has guided its policies ever since.” Apakah ini berarti tidak akan terjadi ‘clash of ciilizations’ dan tidak pula bergulir ‘the remaking of world order’? Akankah keseimbangan dalam ketegangan-lah yang membentuk ‘world order’ itu?

Dari beberapa hal di atas, kita bisa ‘meliarkan’ imajinasi, soal angan ibukota baru misalnya, yang diberi nama memakai istilah ‘nusantara’ itu. Apakah konsep ‘nusantara’ itu sama dengan konsep NKRI? Bagaimana negara-bangsa tetangga akan menghayati istilah ‘nusantara’ ini? Akankah juga memberikan imajinasi tertentu yang hanya akan menaikkan ‘ketegangan’? Dan siapa yang diuntungkan, dan dirugikan jika kawasan Asia Tenggara misalnya, menjadi kawasan dengan ketegangan meningkat? Apakah negara-bangsa tetangga itu salah jika ‘kewaspadaan’ kemudian juga meningkat jika melihat disain dari ‘istana-negara’ di ibukota ‘nusantara’ itu? Siapa yang ‘ngajarin’ sehingga alur ‘imajinasi’ seperti ini menjadi potensial membesar? Kepentingannya apa? Hal-hal seperti ini wajar muncul dalam ‘kasak-kusuk’ di ranah politik. Toh imajinasi soal ‘kekaisaran masa lalu’ menurut Kissinger di atas, bisa berperan besar dalam berkembangnya sebuah peradaban dalam komunitas tertentu, seperti dalam empat peradaban yang dicontohkan di atas, China. *** (30-07-2022)

 

Kupu-kupu Itu (1)