www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

01-08-2022

Kebudayaan bisa dihayati sebagai bagian penting dari sebuah peradaban. Kebudayaan bisa sebagai siasat manusia dalam menghadapi masa depan, demikian dikatakan Soedjatmoko dalam Prakata bukunya Van Peursen, Strategi Kebudayaan. Dan melalui buku Strategi Kebudayaan ini, bisa dibayangkan jika pembagian Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi dibaca dari kacamata Strategi Kebudayaan, ada hal-hal menarik bisa diajukan. Van Peursen membedakan ‘sikap mental’ dalam berkebudayaan menjadi mitis, ontologis, dan fungsionil. Dari bermacam penampakan yang ada, kita bisa membayangkan bagaimana Orde Lama di sana-sini dominan sikap mitis, sedang Orde Baru, ontologis, dan Era Reformasi, fungsionil. Hanya saja dari bermacam penampakan pula, sayangnya justru sisi-sisi negatif lebih tereksplotasi, Orde Lama banyak tereksploitasi sisi magisnya, sisi ‘sihir’-nya, Orde Baru, substatialisme, sedang Era Reformasi di sana-sini tereksploitasi operasionalisme-nya. Bagaimana ‘sihir’ dari sosok Soekarno menjadi dominan di Orde Lama, bahkan saran Bung Hatta untuk lebih menaruh perhatian pada ekonomi-pun menjadi terpinggirkan. Atau ‘sihir’ sama-rata-sama-rasa itu. Orde Baru, salah satu contoh yang mudah dihayati, bagaimana dari pemilu ke pemilu lebih hanya soal ‘perayaan pesta demokrasi’ saja. Dengan segala legitimasinya, stabilitas. Di Era Reformasi, terlebih di bertahun terakhir –contoh telanjangnya, bagaimana bermacam statistik itu justru berperan sebagai alat manipulasi, berulang dan berulang.

Van Peursen mengingatkan bahwa selain masing-masing tahap, mitis, ontologis, fungsionil mempunyai sisi-sisi negatif, yaitu tahap mitis: magis, ‘ilmu sihir’, ontologis: substantialisme, fungsionil: operasionalisme, masing-masing tahap bukanlah tahap yang satu lebih maju dari lainnya. Atau saling meniadakan. Masing-masing tahap bisa ada dalam satu individu. Kadang si-cerdik pandai-pun masih percaya takhayul, misalnya. Maka kita bisa membayangkan pula dalam satu komunitas, bisa-bisa ada sekelompok yang dominan sikap mental mitis, atau ontologis, atau fungsionil. Macam-macam.

Tulisan ini bukan untuk melihat ‘dikotomi’ kultural-struktural, tetapi bagaimanapun memang faktor struktural, dalam arti ‘olah kuasa’ melalui bermacam apparatus-nya, bisa berdaya-ungkit besar dalam praktek bersiasat melalui jalan kebudayaan dalam menatap masa depan. Sebelum Restorasi Meiji Jepang bisa dikatakan ‘siasat kebudayaan’ dominan mitis, dengan segala ketertutupannya. Tetapi dengan membuka diri melalui ketetapan Kaisar yang dikenal sebagai Restorasi Meiji di pertengahan abad 19, perjumpaan dengan bermacam peradaban di luar telah mendorong kemajuan yang dahsyat. Ketertutupan dari dunia luar seperti misal Jepang sebelum Restorasi Meiji bukanlah satu-satunya penampakan dari sikap mental mitis ini, dalam banyak hal bisa dilihat juga dari berkembangnya fanatisme. Fanatisme adalah juga sebuah ‘ketertutupan’. Paulo Freire menunjukkan hal tersebut, yaitu ketika sikap kritis tidak berkembang. Sikap kritis tentu akan mensyaratkan keterbukaan. Lalu bagaimana jika eksploitasi dari (semua) sisi-sisi negatif itu dilakukan dalam ‘olah kuasa’ secara membabi-buta? ‘Ilmu sihir’ yang berujung pada fanatisme itu, atau bahkan ‘sihir’ dalam arti sesungguhnya, dieksploitasi sebagai salah satu andalan dalam ‘olah kuasa’. Juga bablasan jaman old, misalnya semakin menampakkan bagaimana ‘ideologi’ stabilitas itu semakin mulai merasuki, mulai digandrungi si-pembuat kebijakan. Atau juga seperti sudah disebut di atas, statistik misalnya justru semakin menampakkan sebagai alat manipulasi. Yang semakin nampak adalah justru semua tahap dalam ‘strategi kebudayaan’ itu tereksploitasi lebih pada sisi-sisi negatifnya. Jika kebudayaan adalah juga siasat manusia dalam menghadapi masa depan, maka masa depan seperti apakah yang bisa dibayangkan ketika justru struktur-kuasa lebih mengeksploitasi sisi-sisi negatif dari ‘modus’ mitis, ontologis, dan fungsionil itu? Komplit.

Benar kata Mangunwijaya, kualitas suatu bangsa akan nampak salah satunya dari bagaimana kuasa dikelola. Atau kalau disambungkan dengan judul, satu-dua-tiga kepakan sayap kuasa yang mbèlgèdès, bisa mengakibatkan badai ke-tidak-mutu-an sampai menerjang di nun jauh sana. Sampai pelosok. Sampai ‘unit terkecil’-nya. Rusak-rusakan. *** (01-08-2022)

 

Kupu-kupu Itu (3)