www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

10-08-2022

Salah satu ‘kesibukan’ manusia adalah soal batas. Bagi motivator, di depan para sales, para marketing, ia akan menekankan bahwa soal komisi misalnya, the sky is the limit, maksudnya: tanpa batas. Carilah komisi sebanyak-banyaknya dengan menjual sebanyak-banyaknya. Atau kalau kita melihat bermacam bentuk rejim: monarki, aristokrasi, dan demokrasi pada dasarnya adalah juga soal batas. Menjadi busuk ketika sudah tak tahu batas lagi. Perang Ukraina-Russia adalah soal batas. Batas yang digeser dengan sewenang-wenang melalui kekuatan senjata, dan hari-hari ini sedang dicari legitimasinya, rencana referendum yang akan dilakukan pihak Russia setelah menggeser batas. Bahkan Thomas Hobbes, hampir 400 tahun lalu juga berangkat dari batas, ‘dunia tanpa batas’, state of nature. Dan ‘usulan’-nya adalah dunia dengan batas-batas yang sudah disepakati. Bahkan ‘mekanisme umpan balik’ dunia hormonal-pun akan mengenal ‘batas-batas toleransi’ sehingga tidak kemudian menjadi ‘kurang bergairah’.

Apakah komisi menurut sang-motivator seperti disebut di atas memang betul tanpa batas? Apakah pada satu titik tertentu ‘keserakahan’ itu akan menemui batasnya? Sebab jika tanpa batas, jangan-jangan akan jatuh pada situasi state of nature itu? Tetapi nyatanya ‘dunia pertukaran’ itu terus saja berlangsung. Adam Smith dalam era ‘pencarian penjelasan umum’ -dan 100 tahunan setelah pendapat Thomas Hobbes dicetak, berpendapat bahwa adanya kepentingan diri membuat ‘dunia pertukaran’ yang ditekuni oleh para sales, marketing –dalam contoh di atas, menjadi terus saja berlangsung. Juga dibarengi adanya simpati, dalam arti mampu membayangkan apa yang dirasakan yang lain. Bukan karena kebaikan si-tukang roti, atau si-brewer sehingga kita bisa makan roti atau minum bir, demikian kata Adam Smith, tetapi karena kepentingan diri si-tukang roti dan si-brewer-lah. Kepentingan diri memang bisa-bisa hadir tanpa batas, tetapi kepentingan diri dari yang lainlah tiba-tiba saja seakan memberikan ‘batas’-nya. Maka jika Adam Smith masih hidup dan melihat film Wall Street (1987) maka ia akan segera setuju saja pada ucapan Michael Douglas pemeran Gordon Gekko dalam film tersebut: greed is good. Tetapi jika itu dikatakan oleh Ronald Reagen misalnya -presiden AS saat itu, serakah di ranah kuasa, sangat mungkin Adam Smith dengan serta merta akan tidak setuju.

Hari-hari ini terberitakan rumah mewah Donald Trump di Florida sedang digrebek FBI. Di AS sono dikenal yang namanya Presidential Records Act, sejak setelah Nixon di dekade 1970-an menghilangkan bermacam bukti dokumen terkait dengan skandalnya. Segala yang terkait dengan presiden, termasuk ketika sudah dikenal email-email-an itu, harus masuk arsip nasional. Entah itu surat menyurat, email, atau bahkan rekaman percakapan. Kehidupan ‘privat’ seorang presiden-pun seakan sudah milik ‘publik’. Paling tidak melalui tangan Arsip Nasional, yang bertanggung jawab atas penyimpanan dokumen-dokumen itu. Masalahnya, Trump diduga kuat ikut membawa pulang sejumlah dokumen dan disimpan di rumah mewahnya di Florida itu. Makanya digrebek FBI.

Bisa dikatakan sebagian besar hidup Trump adalah di dunia ketika keserakahan bisa wajar-wajar saja dihayati sebagai: baik. Atau seorang jenderal militer misalnya, seumur-umur ia hidup dalam bayang-bayang ‘siap grak’, rantai komando yang ketat. Maka memang tidak mudah bagi keduanya -Trump dan sang jenderal militer, jika kemudian ‘loncat’ ke dunia politik-kuasa. Apalagi jika ranahnya adalah demokrasi. Demokrasi yang batas-batasnya akan sangat berbeda dengan rejim monarki maupun aristokrasi. Apalagi bentuk ‘busuk’-nya, tirani dan oligarki. Tirani, ‘rantai komando’ itu bahkan sampai menelusup ke jantung individu-individu, rakyat kebanyakan. Oligarki, bisa-bisa akan tercipta sebuah keserakahan tanpa ujung lagi. Dimana apa yang disebut Adam Smith sebagai ‘simpati’ itu akan melenyap dengan ringannya. Tidak peduli lagi nasib rakyat kebanyakan. Terhisap deras menuju ‘ke-atas’ secara telanjang. *** (10-08-2022)

Batas (1)