www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

16-08-2022

Ini adalah tulisan ke-4 dengan judul seperti di atas.[1] Bicara soal republik salah satunya kita bisa mengingat ‘peringatan’ Eric J. Hobsbawn dalam Nations and Nationalism Since 1780, “The idea of ‘nation’, once extracted, like the mollusc from apperantly hard shell of the ‘nation-state’, emerges in distincly wobbly shape.” (1992,  hlm. 190) Tetapi bagaimana kita bisa menghayati ‘nation-state’ itu. Harold J. Laski bicara soal bagaimana karakter sebuah negara bisa dihayati oleh warga negaranya, dan kemudian menandaskan bahwa itu tidak lain adalah melalui pemerintahannya. Ketika menjelang akhir abad 20 dan di awal-awal abad 21 ini kita dalam gegap-gempitanya wacana globalisasi sering mendengar soal batas-batas negara yang semakin melenyap. Tetapi dari bermacam peristiwa, misal meningkatnya pengaruh sayap kanan jauh itu, atau terakhir peristiwa invasi Russia ke Ukraina, soal klaim batas-batas negara yang semakin melenyap itu sah untuk dipermasalahkan lagi. Melenyap dalam hal apa? Menipis dalam soal apa?

Ternyata pula bermacam penampakan miris dari kedaruratan iklim itu belum juga mendorong ‘kesadaran global’ yang melampaui batas-batas negara, secara signifikan. Ataukan menunggu adanya serangan brutal dari aliens? Maka kutipan dari Eric J. Hobsbwan dan Harold J. Laski di atas masih tetaplah relevan sebagai titik berangkat refleksi. Akan dihayati sebagai apa adanya pemerintah itu? Sebagai ‘pengemban amanat konstitusi’ tentu bukan penghayatan sehari-hari. Jika dikaitkan dengan kutipan di atas, nampaknya penghayatan keseharian yang bisa-bisa jauh dari disadari itu mungkin adalah sebagai ‘axis mundi’. Jika terhayati oleh khalayak memang sebagai ‘axis mundi’ maka memang tidak main-main jika duduk di pemerintahan, apalagi jika ada dalam lingkaran pusatnya. Beberapa waktu lalu ada wacana soal 4 pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Nuansa ‘axis mundi’ sebenarnya juga tak jauh dari penghayatan soal pilar ini. Jika toh 4 pilar kebangsaan ini kemudian ‘dipinjam’ supaya dapat berperan sebagai ‘axis mundi’, bagaimana khalayak kebanyakan akan dapat menghayatinya? Atau misalnya, katakanlah warna merah sebagai ‘axis mundi’, bagaimana kita menghayati warna merah itu? Karena dalam keseharian, warna merah akan kita hayati adanya ketika warna merah tersebut menempel di meja, kursi, pintu, atau patung, atau lainnya. Meski kita bisa kita pigura itu sifat-sifat warna merah, misal panjang gelombangnya, jika dicampur dengan warna ini akan berubah jadi itu, dan seterusnya. Juga soal ideologi. Demikian juga soal 4 pilar kebangsaan itu, bukankah itu juga sebenarnya akan dihayati oleh khalayak kebanyakan terutama melalui pengelola negaranya? Saat menempel dalam kebijakan dan perilaku pemerintahannya? Tetapi nampaknya tidak jika mengikuti ‘logika Orde Baru’: kebalikannya, yang wajib itu pertama-tama adalah rakyat, bukan pemerintahnya. Kucluk-lah. Rakyat dikejar-kejar untuk melaksanakan Pancasila secara ‘murni dan konsekuen’, dan jika itu terjadi maka terwujudnya ‘masyarakat Pancasila’ itu. ‘Warna cat Pancasila’ itu maunya dicat-kan di setiap hidung rakyat. Dan ketika setiap hidung rakyat sudah di-cat pakai ‘cat Pancasila’ maka masyarakat Pancasialis akan terwujud. Nyatanya enggak tuh, bahkan bisa dikatakan New Zealand-lah yang mendekati ‘masyarakat Pancasila’ itu, misalnya.

Menjadi ber-Pancasila bagi rakyat adalah ketika kebijakan dan perilaku dari si-‘axis mundi’ dilaksanakan, ditaati, ditiru, karena mestinya kebijakan dan perilaku dari si-‘axis mundi’ itu akan berdasarkan Pancasila. Tetapi jika tidak? Jika pengelola negara menjadi ugal-ugalan? Maka Pancasila di tangan rakyat akan menjadi ‘ideologi kritis’, untuk bertanya bagi si-pengelola negara mengapa anda begini, mengapa anda begitu. Tetapi dalam keseharian, penghayatan khalayak terhadap pengelola negara itu tidaklah langsung terkait dengan Pancasila, tetapi ‘alarm deteksi dini’-nya terhadap ugal-ugalannya si-‘axis mundi’ adalah soal ketidak-adilan. Soal ‘cita (rasa)’ ketidak-adilan itu. Dan jika memakai pembagian Alvin Toffler, denyut ketidak-adilan itu bisa terhayati bagaimana kekuatan uang, kekuatan kekerasan, dan kekuatan pengetahuan ‘dimainken’. Kekuatan pengetahuan bisa dihayati salah satunya sebagai soal hukum, kekuatan kekerasan contoh yang hangat sebulan terakhir ini –dan banyak contoh lagi sebelumnya, kekuatan uang bagaimana itu terkait dengan kesejahteraan sehari-hari. Jika soal ‘rasa-merasa’ ketidak-adilan ini semakin dalam dan kemudian menjadi ‘kesadaran kolektif’ maka tinggal menunggu saja sang-katalis yang menemukan momentumnya. Semoga ini bisa dicarikan solusi bersamanya, sebab jika kemudian ‘terperangkap’ dalam spiral kekerasan, terlalu mahal biaya yang harus dipikul. Maka menjelang peringatan 17 Agustus, kita bisa bertanya lagi, “Republik macam apa yang kami miliki?*** (16-08-2022)

 

[1] https://www.pergerakankebangsa

an.com/120-Republik-Macam-Apa-Yang-Kami-Miliki/ https://www.pergerakankebangsa

an.com/380-Republik-Macam-Apa-Yang-Kami-Miliki/

https://www.pergerakankebangsa

an.com/509-Republik-Macam-Apa-Yang-Kami-Miliki-2/

"Republik Macam Apa Yang Kami Milik?" (4)