www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-08-2022

Bagi Mangunwijaya, Politik Etis di jaman kolonial itu tidaklah hitam kelam semata. Menurutnya, guru-guru Eropa saat itu dengan segala kebebasan berpikirnya dan kesungguhan dalam  mengajar sedikit banyak ikut mempengaruhi beberapa muridnya, yang kelak sejarah mencatat diantaranya menjadi tokoh-tokoh pergerakan. Berjuang merebut kemerdekaan. Mungkinkah sejarah akan berbeda jika guru-guru itu isinya hanya gegayaan, sok-sok-an saja, dan ditambah dari hari-ke-hari isinya ngibul saja? Kita tidak tahu, karena itu tidak nampak dalam argumennya Mangun. Atau  dulu ketika seorang raja di  daerah Mesir –di sekitar bagian akhir abad 19, ingin  memodernisasi Angkatan Laut-nya, maka diundanglah ahli-ahli tehnik kapal dan senjata dari Barat. Tetapi ahli-ahli perkapalan itu mau datang jika keluarganya ikut serta, komplit dengan dokter-dokter yang akan merawat mereka jika sakit. Itu semua kemudian disetujui. Di waktu luangnya, dokter-dokter itu juga melayani warga sekitar, yang saat itu masih sangat konservatif. Dan perlahan akhirnya ‘pertukaran budaya’ itu terjadi  melalui jalan yang tak terduga sebelumnya: pelayanan dan perawatan ibu hamil sampai dengan kelahirannya.

Dua contoh di atas menggambarkan bagaimana ‘pertukaran budaya’ bisa berlangsung melalui jalan ‘tak terduga’. Kadang-kadang satu ‘sinar budaya’ akan membawa lainnya. Kadang pula yang ‘berkesan’ justru hal-hal yang nampak ‘remeh-remeh’ saja. Tetapi dua hal  di atas menggambarkan pula bagaimana temuan Albert Mehrabian terkait dengan komunikasi tatap-muka (face to face), dimana rute penghayatan lawan bicara akan dipengaruhi oleh kata-kata-nya itu sendiri, sayangnya menurut Mehrabian ini bobotnya hanyalah 7% saja. Lebih rendah jika dibanding pengaruh intonasi dan suara (38%). Dan paling berpengaruh menurut Mehrabian adalah body language, bahasa tubuh, dalam hal ini terutama segala tarikan otot-otot wajah, bobotnya paling besar, 55%.  Terlebih dalam contoh ke dua di atas, dokter-dokter Barat yang kerja utamanya di daerah perkapalan itu dan kemudian meluangkan waktu untuk melayani penduduk setempat. Pendapat Mehrabian ini mengundang juga perdebatan, terutama soal besaran prosentasenya. Tetapi hampir semua menyetujui tentang pentingnya peran bahasa tubuh ini.

Bagaimana jika kita ketemu tatap-muka dengan ‘sang-Leviathan’? Pada jaman doeloe ketika Thomas Hobbes menulis Leviathan, dan keseharian modus komunikasi dominan masih man-to-man, atau face-to-face itu? Dan ketika saat modus komunikasi man-to-mass mengambil peran sentralnya? Melalui merebaknya surat kabar, film, radio, dan televisi itu? Bagaimana dengan sekarang ketika modus komunikas mass-to-mass begitu merebaknya? Melalui jaringan internet atau digital itu?

Tigabelas tahun sebelum buku karya Clifford Geertz, Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali, Guy Debord menerbitkan 200-an tesis-tesisnya dalam sebuah buku, La société du spectacle (The Society of the Spectacle). Di tengah-tengah puncak ketenaran The Beatles, juga Elvis Presley, juga aktivis Martin Luther King, bermacam film-film baru muncul, dan televisi berwarna sudah menjadi biasa di banyak komunitas. Iklan-iklan-pun menghampiri khalayak sampai ruang-ruang di rumah masing-masing. Dalam bermacam bentuk dan godaan-kenakalannya. Di tengah-tengah bayangan melambungnya sihir modus komunikasi man-to-mass. Tetapi soal ‘negara dan tontonannya’ dari sejarah kita bisa melihat itu sudah terjadi sejak jaman doeloe sekali. Baik sebelum era negara-bangsa modern, maupun sampai sekarang ini. Mungkin yang membedakan adalah khalayak kebanyakannya, yang soal rasa-merasa itu akan dipengaruhi juga oleh relasi-relasi kekuatan produksi yang berkembang. Atau dalam kata-kata Debord di tahun 1967, ‘The first stage of the economy's domination of social life brought about an evident degradation of being into having – human fufillment was no longer equated with what one was, but with what one possessed. The present stage, in which social life has become completely dominated by the accumulated productions of the economy, is bringing about a general shift from having to appearing - all "having" must now derive its immediate prestige and its ultimate purpose from appearances.’ (The Society of the Spectacle, tesis 17). Merebaknya modus komunikasi mass-to-mass, terlebih dalam jaringan sosial-media, apa yang ditengarai Guy Debord -26 tahun sebelum world wide web tersedia untuk publik, dan 31 tahun sebelum Google ada, justru mengalami ‘masa puncak kejayaannya’. *** (25-08-2022)

Negara dan "Bahasa Tubuh"-nya (1)