www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

29-08-2022

Ada yang ‘berselancar’ di atas gelombang Perang Dingin, ada pula yang kemudian ‘berselancar’ di atas gelombang globalisasi. Atau di atas gejolak dinamika pergeseran geopolitik global. Atau ketika ‘semangat jaman’-nya adalah kosmosentris, apakah sang-penguasa waktu itu bisa dikatakan juga sedang berselancar di atas gelombang penghayatan akan ‘kekuatan semesta’? Atau ketika ‘semangat jaman’-nya lebih bernuansa teosentris seperti Eropa Abad Pertengahan misalnya, sang-penguasa kemudian ikut juga berselancar di atas ‘konsep teologi’? Bagaimana ketika berkembang ‘semangat jaman’ yang berangkat dari dinamika antroposentris –berpusat pada manusia? Misal ketika hidup bersama manusia-manusia itu lebih banyak berkembang sebagai the society of the spectacle seperti disinyalir oleh Debord sekitar 50 tahun lalu?

Dalam psikologi perjumpaan kebudayaan-kebudayaan, Arnold J. Toynbee menunjukkan bagaimana ‘betapa cepat dalam pertukaran kebudayaan yang satu membawa yang lain, dan betapa revolusioner pengaruh proses seperti itu’.[i] Nampaknya ini adalah hal pertama yang perlu diperhatikan dalam bermacam peristiwa ‘perselancaran’ seperti contoh-contoh di atas. Yang kedua adalah soal ‘tehnik’ dan ‘esensi’-nya. Melalui pendapat Toynbee di atas kita bisa juga membayangkan bagaimana rejim bisa jatuh pada kubangan kebusukannya. Yaitu ketika ‘kenikmatan’ berselancar itu tiba-tiba saja bermacam gejolak hasrat menelusup dan ‘nangkring’ ikut lebur dalam kenikmatan berselancarnya. Bahkan kemudian menjadi dominan. Lupa bahwa secanggih apapun dalam ketrampilan ‘berselancar’ itu tetaplah sebenarnya adalah ‘tehnik’ saja. Tehnik untuk menggapai ‘hegemonia’. Dan sayangnya ketika ‘arche’ sudah ditangan saat berhasil merebut hegemonia itu, ‘merawat’ hirarki kemudian bisa-bisa menjadi salah satu ‘kesibukan’ utamanya.[ii] Dengan segala konsekuensi ikutannya.

Desire is the essence of a man,” demikian menurut Spinoza (1632-1677). Dan bagaimana jika hasrat utamanya, paling puncak-nya adalah soal kuasa, seperti ditegaskan oleh Nietzsche (1844-1900)? Bahkan menurut Thomas Hobbes (1588-1679), soal hasrat akan kuasa ini akan selalu membayang sampai ajal menjemput. Dalam semangat ‘antroposentris’ pasca Abad Pertengahan, dan didorong berkembangnya ‘ilmu alam’ yang begitu penasaran akan hukum-hukum universal yang mengatur semesta –yang akrab di telinga misalnya Isaac Newton (1642-1726), pertanyaan-pertanyaan apa yang ‘mengatur’ sehingga ‘tertib tatanan’ hidup bersama manusia-pun bermunculan. Machiavelli (1469-1527) adalah salah satu sebelum Hobbes dan Spinoza, dengan membuka ‘kedok sihir’ kuasa. Kuasa itu ternyata bisa dihayati melalui nalar manusia. Sang-Penguasa melakukan ini dan itu bisa dipahami melalui nalar manusia, bukan semata ‘sihir’ yang melampaui nalar manusia. Atau Adam Smith (1723-1790) misalnya, dengan menekankan soal ‘kepentingan diri’ ikut nimbrung di dalamnya.

Maka menjadi hal tak terelakkan ketika pada ‘era’ antroposentris yang mendorong era modernisasi itu kemudian dicari juga ‘tata-bahasa’, grammar-nya hidup bersama, dengan berangkat dari manusianya sendiri. Ketika ‘axis mundi’ itu bergeser dari ‘kosmos’, kemudian bergeser pada ‘konsep-konsep teologi’, dan kemudian pada manusia sendiri. Thomas Hobbes di awal-awal era tersebut mengajak untuk melihat ‘manusia apa adanya’ lebih dahulu. Dan menurut Spinoza, ‘manusia apa adanya’ itu esensinya adalah soal hasrat. Berangkat dari ini kita bisa melihat juga ‘kesibukan’ sejarah dalam mencatat bagaimana soal hasrat ini kemudian ‘dikendalikan’. Jika soal kuasa, apakah hasrat itu hanya akan dikendalikan semata dari ‘kualitas diri’? Bisa, tapi banyak gagalnya juga. Terlalu besar yang dipertaruhkan. Ketika gagal, sejarah hitam-pekat kemudian dicatat. Ataukah hasrat itu kemudian ditabrakkan dengan hasrat lain? Ignasius Loyola (1491-1556) mengenalkan soal agere contra, yang lebih diarahkan pada peningkatan kualitas diri. Dari sejarah pula kita bisa melihat ‘pelembagaan’ hasrat vs hasrat di ranah hidup bersama itu ternyata tidak mudah, dan bahkan bermacam perang harus dilalui. Tidak usah jauh-jauh untuk menghayati ini, tahun 1998 di republik, misalnya. Reformasi yang dalam proses-panjang belajarnya melihat langsung bagaimana ketika hasrat akan kuasa itu berjalan jauh dari kontrol dari hasrat lainnya. Biayanya sungguh tidaklah kecil.

Janji-janji kampanye adalah soal hasrat. Hasrat akan kebaikan. Dan ini semestinya hal pertama, dan bahkan utama sebenarnya, untuk ‘ditabrakkan’ pada gejolak hasrat kuasa yang sangat mungkin mudah untuk ‘lupa diri’. Janji kampanye bukanlah soal ‘teknik’ mempengaruhi pemilih semata, tetapi ketika ia terpilih, bahkan jika tidak terpilih-pun –sebagai oposisi, ia (janji kampanye) akan menjadi penting dalam rute hasrat vs hasrat ini. Soal bagaimana gejolak hasrat justru tidak kemudian menghancurkan hidup bersama.

Yang kedua adalah soal kesepakatan-kesepakatan. Hasrat kuasa yang begitu bergejolak itu kemudian ditabrakkan juga dengan hasrat untuk selalu ‘taat aturan’. Aturan-aturan yang sudah disepakati. Baru yang ketiga adalah terkait dengan eksekutif, legislatif, yudikatif, masyarakat sipil, media massa, dan sekarang ditambah dengan sosial-media. Dan semua sebenarnya mengambil rute hasrat vs hasrat. Terutama dalam kontrol kebijakan beserta eksekusinya, dan soal pembuatan peraturan-peraturannya. Soal bagaimana kesepakatan dibuat. Dan tentu soal bagaimana janji kampanye itu diwujudkan.

Maka kesepakatan pembatasan masa jabatan dan periode-nya di belakangnya adalah soal bagaimana hasrat dikendalikan. Juga kesepakatan untuk dimungkinkan jabatan berhenti sebelum masa jabatan berakhir, adalah juga bagaimana hasrat dikendalikan. Tentu dalam alam demokrasi tidak dilarang untuk ber-wacana soal penambahan masa jabatan, atau penambahan periode jabatan. Tetapi jika menilik sejarah yang sudah terjadi di republik, itu hanya akan membawa sejarah dalam kegelapan saja. Bagi para pemegang ‘capital’ tertinggi dalam ranah menegara, sebaiknya sungguh paham yang sedang dipertaruhkan. Jangan asal njeplak-lah. *** (29-08-2022)

 

[i] Arnold J. Toynbee, Psikologi Perjumpaan Kebudayaan-kebudayaan, dalam YB Mangunwijaya (ed), Teknologi dan Dampak Kebudayaannya Vol. I, YOI, 1987, cet-2, hlm. 86

[ii] https://www.pergerakankebangsa

an.com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/

Negara dan "Bahasa Tubuh"-nya (3)